ppmindonesia.com.Jakarta – Al-Qur’an adalah kitab yang suci, sempurna, dan terjaga. Namun, pemahaman manusia atasnya tidak selalu demikian. Tafsir—yang sejatinya adalah upaya mulia untuk menjelaskan pesan Allah—sering kali tidak lepas dari bias manusia: bias budaya, mazhab, bahkan politik. Akibatnya, tafsir kadang menjadi bukan sekadar penjelas wahyu, tetapi juga corong ideologi kelompok tertentu.
Buya Syakur Yasin dalam salah satu kajiannya mengingatkan, “Tafsir itu tidak netral. Ia sering diseret-seret ke dalam ideologi mufassirnya. Kalau mufassirnya Syiah, tafsirnya condong ke Syiah. Kalau Sunni, ya condong ke Sunni. Kalau Mu’tazilah, ya condong ke Mu’tazilah.”
Pernyataan ini mengajak kita untuk lebih jernih dalam membaca kitab-kitab tafsir. Kita menghormati para mufassir sebagai ulama besar, tetapi kita juga harus menyadari bahwa mereka adalah manusia dengan latar sosial, keyakinan, dan agenda zamannya.
Sejarah mencatat banyak contoh ketika tafsir digunakan untuk memperkuat kepentingan politik dan mazhab. Tafsir ayat-ayat jihad, misalnya, sering dipakai untuk membenarkan kekerasan. Tafsir tentang kepemimpinan juga dipakai untuk mengukuhkan otoritas kelompok tertentu, kadang bahkan untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Padahal, Al-Qur’an sendiri memperingatkan: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorongmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Ma’idah:8).
Prof. Quraish Shihab juga pernah menulis, “Tafsir bukan Al-Qur’an itu sendiri. Ia adalah usaha manusia memahami firman-Nya. Maka bisa benar, bisa juga keliru. Karena itu, bacalah dengan kritis tetapi tetap rendah hati.”
Sayangnya, sebagian umat terlalu cepat menganggap tafsir tertentu sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Padahal yang mutlak hanya firman Allah. Di sinilah kita diuji: apakah kita lebih loyal kepada Allah atau kepada tafsir yang kita sukai?
Allah berfirman:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا ٨٢
“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat banyak pertentangan di dalamnya.” (QS An-Nisa’:82).
Ayat ini bukan hanya perintah untuk tadabbur, tetapi juga peringatan supaya kita berani menguji konsistensi penafsiran yang kita dengar.
Tafsir adalah jembatan menuju Al-Qur’an. Namun, jika kita tidak berhati-hati, jembatan itu bisa menjadi tembok yang menghalangi cahaya wahyu. Maka, bacalah tafsir, tetapi jangan berhenti hanya di sana. Buka hati, buka pikiran, dan beranilah untuk terus belajar langsung dari firman-Nya.
Kritislah, tetapi jangan sombong. Rendah hatilah, tetapi jangan buta. Seperti pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Janganlah kamu menjadi pengikut yang hanya ikut-ikutan. Katakan yang benar jika benar, katakan yang salah jika salah.”
Karena pada akhirnya, kita akan dimintai pertanggungjawaban bukan atas siapa mufassir yang kita ikuti, tetapi atas seberapa jujur kita berusaha memahami dan mengamalkan firman Allah. (acank)