ppmindonesia.com . Jakarta – Doa sapu jagat, “Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar”, adalah lantunan harapan yang tak pernah lekang dari lisan umat Islam. Doa yang memohon kebaikan di dunia dan akhirat ini begitu populer hingga menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah harian. Namun, sebuah pertanyaan fundamental seringkali luput dari benak kita: Cukupkah doa ini hanya diucapkan?
Pertanyaan ini menjadi inti pembahasan dalam sebuah kajian Syahida, di Bogor, Sabtu (26/7). Pemateri, Husni Nasution, menegaskan bahwa doa agung dari Surah Al-Baqarah ayat 201 tersebut sesungguhnya telah dijawab secara lugas oleh Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 156–157.
“Allah tidak sekadar menerima permohonan. Allah menetapkan syarat siapa yang layak mendapat ‘hasanah’ itu. Maka, umat Islam jangan hanya berharap, tetapi harus bergerak aktif memenuhi syarat yang telah ditentukan,” ujar Husni Nasution.
Rahmat Allah Itu Bersyarat
Menurut Husni, jawaban langsung dari Allah atas doa permohonan kebaikan dunia dan akhirat tertuang dalam firman-Nya di QS. Al-A’raf: 156:
“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku itu bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”
Ayat ini, lanjutnya, menggarisbawahi bahwa kebaikan dan rahmat yang didambakan itu secara spesifik ditetapkan bagi tiga golongan:
- Orang-orang yang bertakwa.
- Orang-orang yang menunaikan zakat.
- Orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah.
“Ketiganya bukanlah syarat teoretis, melainkan praktis. Artinya, seorang Muslim yang mendambakan kebaikan dunia dan akhirat harus secara sadar menapaki jalan takwa, menjadikan zakat sebagai instrumen keadilan sosial, dan memaknai iman sebagai kesediaan total untuk mengikuti petunjuk wahyu dalam kehidupan nyata,” paparnya.
1. Takwa: Fondasi Moral dan Etos Sosial
Husni Nasution menjelaskan bahwa takwa seringkali dimaknai secara sempit sebagai kualitas spiritual individu. Padahal, hakikat takwa jauh lebih luas, yakni sebagai etos dan tanggung jawab sosial.
“Takwa bukan hanya tentang khusyuknya shalat atau rajinnya puasa. Takwa adalah keberanian untuk hidup jujur, menolak korupsi, memperjuangkan keadilan, dan peduli terhadap sesama. Takwa yang benar akan membawa dampak transformatif dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa,” tegasnya.
Dalam konteks keindonesiaan, lanjutnya, takwa harus menjadi motor penggerak untuk mewujudkan tata kelola publik yang bersih dan meningkatkan kepedulian terhadap kelompok rentan.
2. Zakat: Instrumen Keadilan dan Transformasi Sosial
Syarat kedua adalah menunaikan zakat. Menurut Husni, zakat dalam konteks ayat ini harus dimaknai sebagai perwujudan kecerdasan sosial dan empati kolektif.
“Zakat bukanlah sekadar transfer harta dari si kaya kepada si miskin. Ia adalah sebuah sistem distribusi keadilan yang ditanamkan langsung oleh Allah dalam struktur ajaran Islam. Jika zakat dikelola secara sistemik dan profesional, ia memiliki kekuatan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang menjadi masalah besar umat hari ini,” jelasnya.
Ia mengkritik pandangan yang menyederhanakan zakat menjadi sekadar rutinitas di akhir Ramadhan. Secara Qur’ani, zakat adalah gerakan sosial permanen yang seharusnya menjadi fondasi kesejahteraan umat.
3. Iman: Keyakinan yang Melahirkan Aksi
Syarat ketiga, beriman kepada ayat-ayat Allah, diperinci lebih lanjut dalam ayat berikutnya (QS. Al-A’raf: 157). Mereka adalah orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW, memuliakannya, menolong perjuangannya, dan mengikuti Nur (cahaya) yang diturunkan bersamanya, yaitu Al-Qur’an.
“Iman di sini bukanlah keyakinan pasif, melainkan komitmen aktif untuk mengikuti. Mengikuti berarti menjadikan ajaran Rasulullah sebagai panduan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, dari etika pribadi hingga tatanan sosial,” terang Husni.
Ia merujuk pada QS. Asy-Syura: 52 yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah cahaya (Nur) yang menjadi penuntun. “Jika Rasulullah saja membutuhkan wahyu sebagai cahaya, apalagi kita sebagai umatnya. Al-Qur’an harus menjadi cahaya utama dalam menapaki hidup, bukan hanya untuk dibaca dan dihafal, tetapi untuk direalisasikan dalam tindakan,” tegasnya.
Mengubah Doa Menjadi Gerakan
Rangkaian ayat ini memberikan pesan yang jelas: doa adalah titik awal dari sebuah tanggung jawab, bukan akhir dari sebuah usaha. Harapan akan hasanah fid-dunya wal akhirah menjadi sia-sia jika tidak dibarengi dengan tiga pilar aksi: implementasi nilai takwa, pemberdayaan sosial melalui zakat, dan komitmen total pada petunjuk wahyu.
Sebagaimana disimpulkan oleh Husni Nasution dalam penutup kajian, pesan ini adalah sebuah ajakan untuk mengubah paradigma.
“Saatnya umat Islam mengubah pola: dari hanya berdoa menjadi bertindak. Kunci kebaikan dunia dan akhirat sudah sangat jelas terpampang di hadapan kita. Tinggal kita yang memilih, mau mengambil dan menjalaninya, atau tidak,” pungkasnya.(husni fahro)
*Husni Fahro; peminat kajian Nasionalis Religius dan solidarits sosial, alumni IAIN Sumatera Utara tinggal di Bogor.