Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Bencana Alam Bukan Murka Tuhan: Tafsir Al-Qur’an atas Kerusakan

83
×

Bencana Alam Bukan Murka Tuhan: Tafsir Al-Qur’an atas Kerusakan

Share this article

Penulis: husni fahro | Editor; asyary|

ppmindonesia.com.Bogor – Setiap kali gempa mengguncang, banjir melanda, atau angin topan menyapu wilayah tertentu, kita kerap mendengar ungkapan yang nyaris menjadi doktrin: “Ini murka Tuhan.” Seolah bencana datang dari langit sebagai hukuman atas dosa manusia secara spiritual, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab duniawi yang nyata. Namun benarkah demikian?

Dalam kajian bertema “Tafsir Qur’an atas Kerusakan dan Bencana” yang disampaikan oleh Husni Nasution di kanal Kajian Syahida, narasi semacam itu dikaji secara kritis dan mendalam. Ia mengajak kita untuk kembali membuka lembaran Al-Qur’an, bukan hanya untuk dibaca, tapi juga direnungkan secara rasional dan bertanggung jawab.

Ayat yang Menjawab Tuduhan kepada Tuhan

Al-Qur’an dengan tegas membantah tuduhan bahwa Allah berbuat zalim kepada manusia. Dalam Surah Ar-Rum ayat 41, Allah menyatakan:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ۝٤١

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini memberikan penjelasan gamblang bahwa segala kerusakan yang terjadi—baik ekologi, sosial, maupun moral—adalah hasil dari perbuatan manusia itu sendiri. Dalam perspektif ini, alam bukan menjadi alat murka Tuhan secara buta, melainkan cermin atas akumulasi kesalahan manusia yang diabaikan, dibiarkan, dan dilanggengkan.

Sayangnya, kita lebih suka menyebutnya sebagai “bencana alam” agar bisa menghindar dari tanggung jawab. Padahal istilah itu sendiri bisa menjadi tameng untuk menutupi dosa kolektif yang bersifat struktural: penebangan hutan, pencemaran laut, pembiaran kejahatan, kerakusan modal, dan sikap abai terhadap keadilan sosial.

Keselamatan: Janji Allah, Tapi Bersyarat

Dalam Surah Yunus ayat 103, Allah berfirman:

ثُمَّ نُنَجِّيْ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كَذٰلِكَۚ حَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِيْنَࣖ ۝١٠٣

“Kemudian Kami selamatkan Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman. Demikianlah menjadi kewajiban Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 103)

Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan adalah janji Allah bagi mereka yang sungguh-sungguh beriman. Namun, seperti disampaikan Husni Nasution, ayat ini juga menjadi cermin untuk introspeksi. Bila seseorang atau sebuah komunitas tak mendapat pertolongan Allah, mungkin yang perlu dipertanyakan bukan keadilan Tuhan, tetapi kualitas keimanan itu sendiri: adakah keadilan ditegakkan, kejahatan dicegah, dan amanah dijalankan?

Alam Tidak Marah, Tapi Menyeimbangkan

Menariknya, Husni membawa kajian ini melampaui wacana spiritual ke ranah ilmiah. Ia mengutip prinsip dasar hukum energi dalam fisika: energi tidak pernah hilang, hanya berubah bentuk atau berpindah tempat.

Maka dalam sudut pandang ini, akumulasi energi negatif akibat kejahatan dan kelalaian yang tidak dilawan oleh masyarakat bisa menggumpal menjadi ketidakseimbangan alam—yang kemudian muncul dalam bentuk “bencana”.

“Ketika manusia tak mampu lagi melawan kejahatan, maka alam yang akan mengambil peran itu,” ujarnya. Bukan karena alam marah. Bukan karena Tuhan murka. Tapi karena sistem keseimbangan semesta bekerja sebagaimana mestinya—dan manusia ikut menuai konsekuensinya.

Tugas Kita: Menjaga Amanah, Bukan Menyalahkan Tuhan

Kajian ini pada akhirnya mengajak kita untuk tidak hanya melihat ayat sebagai wacana, tapi juga sebagai cermin peradaban. Kita diajak bertanya: apakah bencana itu datang karena murka Tuhan, atau karena kita terlalu lama membiarkan kerakusan dan kebodohan menjadi pemimpin?

Alih-alih terus mencari kambing hitam metafisik, barangkali sudah saatnya kita menatap Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk hidup yang menyuruh manusia bertanggung jawab atas bumi, bukan hanya minta ampun setelah merusaknya.

Sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ ۝١١

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’, mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’” (QS. Al-Baqarah: 11)

Maka pertanyaannya kini: kita ini pengelola bumi, atau justru perusaknya yang sedang mengambinghitamkan Tuhan? (husni fahro) 

*Husni Fahro, seorang pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an asal Bogor. Alumni IAIN Sumatera Utara ini dikenal dengan gagasannya tentang Nasionalisme Religius dan kepeduliannya pada isu-isu solidaritas sosial.”

Example 120x600