Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Menembus Langit dan Bumi: Tafsir Ilmiah QS 55:33 Menurut Husni Nasution

112
×

Menembus Langit dan Bumi: Tafsir Ilmiah QS 55:33 Menurut Husni Nasution

Share this article

Penulis; emha| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Bogor – Dalam salah satu tayangan Kajian Syahida, narasumber Husni Nasution menyampaikan refleksi mendalam terkait relasi antara wahyu, ilmu pengetahuan, dan potensi eksploratif manusia sebagaimana tergambar dalam Al-Qur’an. 

Kajian tersebut menyoroti beberapa ayat kunci yang secara eksplisit maupun implisit menegaskan kapasitas manusia untuk menembus batas-batas langit dan bumi — bukan semata dengan teknologi, tetapi juga melalui daya spiritual dan kedalaman ilmu.

QS Ar-Rahman 55:33 menjadi titik awal dalam kajian tersebut. Allah berfirman:

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ ۝٣٣

 “Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (sulthān).” (QS Ar-Rahman: 33)

Menurut Husni Nasution, ayat ini bukan sekadar tantangan, melainkan sebuah sinyal terbuka bahwa manusia dan jin diberi ruang untuk menjelajah alam semesta. Namun, syaratnya adalah memiliki “sulthān” — istilah yang dalam tafsir bisa bermakna kekuatan, wewenang, atau daya ilmu pengetahuan yang diizinkan oleh Allah. Dalam konteks kontemporer, “sulthān” bisa dibaca sebagai teknologi, kapasitas intelektual, dan keilmuan yang sah.

Kemudian, beliau merujuk QS Hud 11:96 yang menyebutkan Nabi Musa diutus kepada Fir’aun dengan membawa sulthān mubīn (kekuatan atau bukti yang nyata). Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa adalah contoh manusia yang mampu menjelajahi dan menembus berbagai dimensi kehidupan — tidak hanya geografis tetapi juga peradaban dan logika zamannya — berbekal otoritas kebenaran yang diberikan Allah.

Lebih jauh, Nasution mengajak pemirsa mencermati kisah Nabi Musa dalam QS Al-Kahfi 18:65–82, saat beliau melakukan perjalanan bersama seorang hamba Allah yang dikaruniai rahmat dan ilmu ladunni — yakni pengetahuan langsung dari sisi Allah. 

Dalam kisah tersebut, Nabi Musa diperlihatkan tiga peristiwa yang tampak paradoksikal secara logika, namun sejatinya mengandung kebijaksanaan ilahiah yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang diberi ilmu dari sisi-Nya.

“Perjalanan Nabi Musa dengan hamba Allah itu adalah simbol bahwa tidak semua pengetahuan bisa dijangkau lewat logika lahir. Ada wilayah-wilayah ilmu yang hanya terbuka lewat kesabaran, adab, dan kedekatan spiritual,” ujar Nasution.

Integrasi Ilmu, Sulthān, dan Ilmu Ladunni

Dari tiga ayat dan kisah tersebut, Husni Nasution menyimpulkan bahwa Al-Qur’an mendorong manusia untuk menjadi pembelajar dan penjelajah semesta — namun tidak hanya dengan akal dan teknologi, melainkan juga dengan landasan ruhani dan keberpihakan kepada kebenaran.

Manusia bisa memiliki ilmu pengetahuan melalui observasi dan eksperimen. Manusia bisa diberi sulthān melalui izin dan otoritas dari Allah untuk menyingkap fenomena alam. Dan manusia bisa mencapai ilmu ladunni jika ia menjaga keikhlasan, kesabaran, dan kepasrahan total pada kehendak Allah.

“Dengan bekal-bekal itu, sangat mungkin manusia mampu menjelajah lapisan bumi terdalam hingga benda-benda angkasa, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al-Qur’an sejak 14 abad silam,” ungkap Husni menutup kajian. (emha)

*Husni Nasution, seorang pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an asal Bogor. Alumni IAIN Sumatera Utara ini dikenal dengan gagasannya tentang Nasionalisme Religius dan kepeduliannya pada isu-isu solidaritas sosial.”

Example 120x600