ppmindonesia.com. Jakarta — Wacana pelaksanaan dam haji atau kompensasi atas pelanggaran dalam ibadah haji yang dapat dibayarkan di tanah air mulai tahun 2026 menjadi topik hangat dalam diskusi lintas otoritas keagamaan, pemerintahan, hingga komunitas masyarakat sipil. Gagasan ini tidak hanya membuka ruang baru dalam pengelolaan ibadah, tetapi juga menyentuh langsung jantung ekonomi umat: peternakan rakyat.
Dari Senayan hingga Istana Wakil Presiden, wacana ini terus dibahas secara intensif antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia, bahkan mendapat sinyal positif dari Kerajaan Arab Saudi. Namun di tengah hiruk-pikuk diplomasi dan fatwa, ada suara dari akar rumput yang mulai menata strategi: Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional.
Dalam forum diskusi daring Reboan PPM yang digelar pada Rabu, 30 Juli 2025, Eko Suryono, Ketua Presidium PPM Nasional, menyatakan bahwa pelaksanaan dam haji di dalam negeri akan menjadi babak baru bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Bukan hanya persoalan efisiensi, tetapi juga soal keadilan distribusi manfaat ibadah.
“Jika penyembelihan hewan dam dilakukan di Indonesia, ini bisa menjadi tonggak penguatan ekonomi rakyat. Peternak lokal akan mendapatkan pasar yang pasti, dan dagingnya bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat miskin di sekitar kita, bukan hanya di Tanah Haram,” ujarnya.
Eko menambahkan, penyelenggaraan dam secara domestik akan membuka ruang partisipasi luas dari aktivis PPM daerah. Mereka bisa dilibatkan dalam penyediaan kambing, pelatihan masyarakat di bidang peternakan, dan pendampingan distribusi daging kepada mustahik.
“Dari masjid tempat kita beribadah, kini kita bisa ikut membangun lumbung ternak yang menopang ibadah umat lain. Inilah sinergi antara ibadah dan gerakan sosial,” jelas Eko.
Manipulasi dan Transparansi
Dukungan terhadap wacana ini juga datang dari Anggota Presidium PPM Nasional , Pupun Purwana, yang menyoroti persoalan transparansi dalam praktik pelaksanaan dam selama ini di Tanah Suci.
“Seringkali pelaksanaan dam di Makkah sulit dipantau. Jamaah hanya membayar, tetapi tak tahu apakah hewan betul-betul disembelih. Bahkan ada yang meragukan jumlah riil hewan yang dipotong,” ujarnya.
Dengan dilakukannya penyembelihan di dalam negeri, menurut Pupun, maka jamaah, masyarakat sipil, dan lembaga keagamaan bisa lebih aktif dalam mengawasi prosesnya—sekaligus mendapatkan nilai tambah sosial dan ekonomi yang lebih terasa.
Antara Fikih dan Keberpihakan
Namun jalan menuju realisasi gagasan ini tidak mulus. Masih ada hambatan fikih yang harus dilalui. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 41 Tahun 2011 menyebut bahwa penyembelihan dam untuk haji tamattu’ dan qiran harus dilakukan di Tanah Haram. Bila dilakukan di luar, hukumnya tidak sah.
Karenanya, Pemerintah Indonesia masih menunggu ijtihad dan peninjauan ulang dari MUI. Kementerian Agama melalui Menteri Nasaruddin Umar menegaskan bahwa usulan ini lebih maslahat secara sosial dan logistik, mengingat beban pemotongan hewan di Arab Saudi mencapai ratusan ribu ekor setiap musim haji.
“Bayangkan 210 ribu kambing dipotong di Makkah. Kalau dilakukan di Indonesia, itu kambing kita sendiri. Dan dagingnya bisa dinikmati oleh rakyat kita,” ujarnya.
Wakil Perdana Menteri Malaysia, Dato’ Seri Ahmad Zahid Hamidi, dalam pertemuan bilateral di Jakarta pada 22 April 2025, juga menyatakan dukungan serupa. Malaysia yang menyembelih sekitar 40.000 ekor kambing setiap tahun untuk keperluan dam, siap berkoordinasi agar pelaksanaan di negara asal lebih efisien dan memberdayakan.
Gerakan Umat yang Membumi
Gagasan pelaksanaan dam di dalam negeri kini bukan lagi sekadar soal “boleh atau tidak”, tetapi telah menyentuh pertanyaan lebih besar: ibadah ini untuk siapa dan memberi manfaat kepada siapa?
PPM sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang telah berkiprah sejak era 1980-an, melihat peluang ini sebagai bagian dari dakwah bil hal—gerakan nyata yang membumikan nilai-nilai Islam melalui kerja sosial dan ekonomi.
“Sudah saatnya ibadah kita tidak hanya sampai langit, tapi juga meneteskan manfaat di bumi,” ungkap Eko Suryono.
Jika fatwa baru dari para ulama memperbolehkan, PPM siap berada di garda depan—membina peternak, menyiapkan standar penyembelihan, dan memastikan distribusi daging menyentuh golongan yang tepat. Inilah cara baru umat Islam Indonesia merawat kemuliaan ibadah dengan kerja nyata di kampung, dusun, dan pasar ternak mereka sendiri. (emha)