Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ilmu Tanpa Adab: Pelajaran Keras untuk Nabi Musa dan Kita

51
×

Ilmu Tanpa Adab: Pelajaran Keras untuk Nabi Musa dan Kita

Share this article

Penulis: emha| Editor; asyary|

ppmindonesia.com.Jakarta Dalam perjalanan mencari ilmu, adab menempati posisi utama yang kerap terlupakan. Bahkan seorang Nabi sekelas Musa ‘alaihissalam pun mendapat pelajaran keras dalam hal ini. Kisah perjalanan Musa bersama seorang hamba Allah dalam QS Al-Kahfi: 65–82 bukan sekadar catatan sejarah spiritual, melainkan refleksi abadi bagi setiap pencari ilmu sepanjang zaman.

Dalam kajian yang disampaikan Husni Nasution di kanal Kajian Syahida, ditegaskan bahwa kisah Musa dan sang guru — yang menurut banyak ulama disebut sebagai Khidir — mengandung pelajaran penting: bahwa ilmu bukan hanya soal logika, tapi juga soal sikap batin. Sehebat apapun akal seseorang, tanpa adab, ia akan dibutakan oleh kesombongan intelektual.

Ilmu Ladunni: Bukan Sekadar Logika

Allah berfirman:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا ۝٦٥

 “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami yang telah Kami anugerahi rahmat dari sisi Kami dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (ilmu ladunni).”(QS Al-Kahfi: 65)

Ilmu ladunni adalah jenis ilmu yang tidak bisa didapat di sekolah mana pun. Ia bukan hasil eksperimentasi laboratorium atau hasil rumusan teori, tapi ilmu yang diberikan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya yang dekat dan taat. Musa, meski telah membawa wahyu dan mukjizat, dalam peristiwa ini justru menjadi murid—dan itulah kemuliaannya.

Namun perjalanan itu tidak mudah. Tiga kali Musa melanggar syarat yang telah ditetapkan: untuk bersabar dan tidak bertanya. Ia tidak tahan melihat perahu yang dilubangi, anak kecil yang dibunuh, dan tembok yang diperbaiki tanpa bayaran. Semua itu tidak masuk akal menurut nalar Musa.

“Ini pelajaran penting,” ujar Husni. “Seorang Nabi pun bisa tergelincir jika tidak meletakkan adab di atas akalnya.”

Dari Musa ke Kita: Cermin Abad Ini

Kisah Musa menjadi sangat relevan di tengah zaman yang menuhankan gelar akademik, sertifikasi, dan rasionalisme kering. Ilmu menjadi komoditas, bukan cahaya. Kita hidup dalam era di mana informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan langka. Kecerdasan tinggi, tetapi kehancuran moral di mana-mana. Di sinilah pelajaran Musa menemukan konteksnya.

Dalam tafsirnya, banyak ulama seperti Imam Al-Ghazali dan Syekh Nawawi Banten menekankan bahwa adab adalah prasyarat mutlak ilmu yang bermanfaat. Tanpa adab, ilmu menjadi fitnah. Ia bisa berubah menjadi alat manipulasi, kesombongan, bahkan kerusakan.

Dan ini bukan hanya berlaku dalam ruang kelas. Dalam rumah tangga, dunia kerja, politik, hingga ruang dakwah, adab adalah pagar agar ilmu tidak liar.

Belajar Menjadi Murid

Salah satu pelajaran terbesar dari Musa adalah kerendahan hatinya untuk mau belajar, meski ia sudah menjadi utusan Allah. Ini kontras dengan banyak realitas hari ini, di mana banyak orang lebih sibuk ingin menjadi guru, penasihat, atau pengisi kajian, tapi enggan menjadi murid sejati. Inilah akar dari banyak kegagalan dakwah dan kejumudan umat.

Dalam penutup kajiannya, Husni Nasution mengingatkan:

 “Ilmu tanpa adab adalah bara dalam tangan. Ia bisa menyinari, tapi lebih sering membakar. Kita belajar dari Musa bahwa untuk mencapai ilmu yang sejati, kita harus mematangkan akhlak, bukan sekadar akal.”

Jalan Sunyi Adab

Perjalanan Musa bukan hanya peristiwa, tapi simbol dari perjalanan intelektual dan spiritual manusia. Bahwa ilmu sejati hanya datang kepada mereka yang sabar, rendah hati, dan bersedia tunduk pada hikmah Allah yang seringkali melampaui logika.

Maka sebelum menuntut ilmu tinggi, mari kita bertanya: sudahkah kita menuntut adab? Karena sebagaimana Musa, kita pun akan diuji: apakah ingin tahu, atau ingin tunduk? (emha)

*Husni Nasution, seorang pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an asal Bogor. Alumni IAIN Sumatera Utara ini dikenal dengan gagasannya tentang Nasionalisme Religius dan kepeduliannya pada isu-isu solidaritas sosial.”

Example 120x600