ppmindonesia.com.Bogor– Dalam setiap shalat, seorang Muslim mengulang doa yang sama berkali-kali: “Rabbighfirli, warhamni”—Tuhanku, ampunilah aku dan rahmatilah aku. Bahkan dalam satu hari, mereka yang menunaikan shalat lima waktu minimal mengucapkan permohonan rahmat ini lebih dari 30 kali.
Namun, di tengah gencarnya permohonan itu, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah umat benar-benar memahami rahmat yang diminta itu? Ataukah rahmat hanya menjadi sebentuk harapan yang dipisahkan dari jalan yang semestinya ditempuh?
Kajian tematik Al-Qur’an yang disampaikan Husni Nasution* di kanal Syahida mengajak umat untuk melihat bahwa rahmat Allah bukanlah sesuatu yang datang secara misterius atau otomatis karena doa yang terus-menerus diulang. Rahmat, dalam Al-Qur’an, adalah sesuatu yang terdefinisi dan memiliki jalan yang sangat jelas.
Rahmat yang Dijanjikan: Bukan Misteri, Tapi Petunjuk
Dalam QS Al-A’raf [7]:52, Allah berfirman:
وَلَقَدْ جِئْنٰهُمْ بِكِتٰبٍ فَصَّلْنٰهُ عَلٰى عِلْمٍ هُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ٥٢
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan kepada mereka sebuah Kitab (Al-Qur’an) yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan Kami, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat ini secara tegas menyandingkan antara wahyu dan rahmat. Artinya, rahmat yang sejati adalah petunjuk ilahi—bukan semata perasaan nyaman, rezeki berlimpah, atau bebas dari musibah. Petunjuk ini pula yang dimaksud dalam QS Yunus [10]:57 sebagai penawar bagi hati, dan dalam QS An-Nahl [16]:64 sebagai jalan pemecah perbedaan di antara manusia.
“Ketika seseorang memohon rahmat Allah, maka sejatinya ia sedang meminta untuk didekatkan kepada Al-Qur’an, dipahamkan isinya, dan dimampukan untuk menjalani hidup sesuai petunjuk itu,” jelas Husni.
La’allakum Turhamun: Rahmat Butuh Tindakan
Lebih lanjut, Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa permohonan rahmat harus disertai jalan yang ditempuh. Ini terlihat dari berulangnya ungkapan “la’allakum turhamun”—yang artinya “agar kamu dirahmati”—dalam berbagai konteks:
- QS Al-A’raf [7]:204: Dengarkan Al-Qur’an dengan penuh perhatian agar kamu dirahmati.
- QS Ali ‘Imran [3]:132: Taatilah Allah dan Rasul-Nya agar kamu dirahmati.
- QS Al-An’am [6]:155: Ikutilah Kitab yang diturunkan agar kamu dirahmati.
- QS An-Nur [24]:56: Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat agar kamu dirahmati.
- QS Yasin [36]:45 dan Al-Hujurat [49]:10 juga menyiratkan hal serupa.
Dengan demikian, rahmat tidak datang tanpa syarat. Ia bukan sekadar hasil dari harapan spiritual, melainkan buah dari kepatuhan dan keterhubungan langsung dengan wahyu.
Bergembira atas Rahmat, Bukan Harta
Sikap orang beriman terhadap rahmat juga dijelaskan dalam QS Yunus [10]:58:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ ٥٨
“Katakanlah (Muhammad), ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’”
Ayat ini mengisyaratkan adanya dua sumber kegembiraan: yang pertama bersumber dari petunjuk dan rahmat Allah, dan yang kedua dari kumpulan harta benda duniawi. Sayangnya, dalam realitas umat hari ini, kegembiraan atas petunjuk seringkali kalah oleh kegembiraan atas bonus, jabatan, atau pencapaian finansial.
Apakah kita pernah merasa bangga ketika memahami satu ayat Al-Qur’an sebagaimana kita merasa bangga saat menerima kenaikan gaji? Apakah kita benar-benar menghargai nikmat petunjuk itu sebagai bentuk kasih sayang tertinggi dari Allah?
Doa yang Tanpa Jalan Akan Kosong Makna
Kita patut bertanya: mengapa kita terus memohon rahmat, namun tetap jauh dari nilai-nilai yang menjadi jalannya? Mengapa mushaf dibiarkan tertutup, padahal di dalamnya ada rahmat yang kita minta siang malam?
Fenomena ini menunjukkan adanya kekosongan makna dalam ritual. Shalat, yang semestinya menjadi sarana penguatan hubungan dengan petunjuk, justru diperlakukan sebagai rutinitas yang tercerabut dari substansi.
Padahal dalam QS Al-Mujadilah [58]:11 dan QS Ali ‘Imran [3]:139], orang-orang beriman ditegaskan sebagai kelompok yang lebih tinggi derajatnya—bukan karena status sosial, tetapi karena keimanan dan ilmu, yakni keterhubungan dengan wahyu.
Rahmat Itu Sudah Terbuka, Kita Saja yang Tak Menempuhnya
Umat Islam hari ini dihadapkan pada krisis spiritual yang halus: banyak berdoa, tapi lupa bahwa doa itu menuntut aksi. Mereka berharap rahmat, tapi tidak menempuh jalannya. Padahal jalan itu telah terbentang jelas sejak 15 abad yang lalu—yakni Al-Qur’an.
Maka, bukan soal doa, tapi soal jalan.
Sudahkah kita memilih untuk menempuh jalan itu? Ataukah kita hanya sekadar berharap, sambil menutup mata terhadap petunjuk yang tersedia? (emha)
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.