Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Prabowo Beri Abolisi dan Amnesti: Keputusan Politik atau Hukum?

217
×

Prabowo Beri Abolisi dan Amnesti: Keputusan Politik atau Hukum?

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Masa jabatan Presiden Joko Widodo telah usai, berganti ke era baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Dunia politik dan hukum di Tanah Air kembali diwarnai kehebohan setelah pengumuman langkah kontroversial terkait pemberian abolisi dan amnesti terhadap dua tokoh penting nasional.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Kamis (31/7/2025), bahwa DPR memberikan persetujuan terhadap Surat Presiden yang mengabulkan abolisi bagi mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dan amnesti terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Langkah ini menuai banyak pertanyaan besar: Apakah keputusan tersebut murni pilihan hukum yang berdasarkan ketentuan konstitusional dan peraturan perundang-undangan, atau justru merupakan langkah politik strategis yang dikemas dalam kerangka legal?

Hak Prerogatif Presiden dalam Konstitusi

Abolisi dan amnesti memang diatur sebagai hak prerogatif Presiden sesuai Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan diperkuat dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Secara teknis, abolisi digunakan untuk menghentikan proses penuntutan pidana sebelum putusan inkracht, seperti yang terjadi dalam kasus Tom Lembong yang saat ini sedang mengajukan banding atas vonis 4,5 tahun terkait kasus korupsi impor gula.

Sementara itu, amnesti adalah penghapusan seluruh akibat hukum dari tindak pidana, termasuk hukuman dan catatan kriminal. Contohnya, Hasto Kristiyanto yang sebelumnya divonis 3,5 tahun dalam perkara suap mekanisme pergantian antarwaktu anggota legislatif, kini mendapat status hukum baru setelah menerima amnesti.

Sebuah Atmosfer Persatuan?

Kebijakan ini diutarakan sebagai bagian dari upaya mencapai persatuan nasional menjelang Hari Kemerdekaan ke-80. Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menegaskan bahwa langkah tersebut diambil demi menciptakan suasana kondusif dan rekonsiliasi kebangsaan.

Namun, asumsi mengedepankan persatuan seringkali menuai kritik. Di tengah masyarakat yang masih kegelisahan terhadap isu korupsi dan ketidakadilan hukum, langkah politik ini berpotensi memperkuat persepsi bahwa pengampunan negara sedang digunakan sebagai alat kekuasaan dan penguatan elit tertentu.

Perspektif Akademisi dan Pakar Hukum

Pengajar hukum pidana dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, menyatakan secara hukum abolisi dan amnesti memang sah. Tapi, ia mempertanyakan keadilan moral di balik pemberian tersebut, terutama kepada tokoh-tokoh dari kalangan elit politik dan ekonomi.

Senada, Wahyu Priyanka dari Universitas Islam Indonesia menegaskan bahwa hak prerogatif Presiden seharusnya tidak diabaikan dalam praktiknya jika berkaitan dengan keadilan masyarakat. “Transparansi dan keadilan harus tetap diutamakan,” ujarnya.

Guru besar hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, bahkan menyebut kasus ini sebagai “murni perkara hukum, bukan politik,” meski di sisi lain menyadari adanya motif politik di balik keputusan ini. Ia menambahkan, pemberian amnesti dan abolisi idealnya dilakukan dalam konteks politik yang jelas dan transparan.

Chudry Sitompul, pakar hukum pidana dari UI, menilai langkah ini sebagai bagian dari upaya meredam ketegangan pasca-Pemilu 2024 dan menunjukkan bahwa Presiden berupaya menjaga stabilitas politik, sekaligus memperlihatkan bahwa ada faktor politis yang cukup kuat di balik keputusan tersebut.

Persepsi Publik dan Masa Depan Hukum

Kritik dari berbagai kalangan—mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga organisasi masyarakat—menggarisbawahi bahwa pengampunan ini dapat memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem hukum. BEM SI, misalnya, menilai kebijakan ini berpotensi memperbaiki citra kekuasaan yang otoriter dan mengancam demokrasi.

“Pengampunan tanpa dasar keadilan yang kuat akan membuka peluang oligarki dan menyempitkan ruang kontrol rakyat terhadap pemerintah,” ujar Muzammil Ihsan, Koordinator Pusat BEM SI.

Di akhir, apakah langkah politik ini akan memperkuat atau justru melemahkan sistem hukum nasional? Hanya waktu dan kejelasan proses yang akan menjawabnya.

Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) yang mempunyai jaringan Nasional juga mendapat pertanyaan dari para aktifis yang membandingkan nasib para terpidana yang tidak memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Banyak narapidana dengan kasus ringan, termasuk pelanggaran sosial ekonomi, belum mendapat akses pengampunan serupa.

 “Apakah negara juga akan mempertimbangkan pemberian pengampunan bagi petani yang dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya, atau bagi buruh yang dipidana karena aksi protes?” tanya seorang aktivis hukum dari LBH Jakarta.

Fenomena ini mencerminkan jurang antara hukum sebagai teks dan hukum sebagai pengalaman hidup rakyat. Ketika hukum lebih mudah melunak untuk elite, kepercayaan publik terhadap keadilan menjadi taruhannya.

Para pengamat mengingatkan, bahwa dalam demokrasi dan negara hukum, keberpihakan terhadap keadilan harus tetap diutamakan. Hak prerogatif Presiden sebaiknya digunakan dengan penuh tanggung jawab agar tidak kehilangan legitimasi dan kepercayaan rakyat.(acank)

 

Example 120x600