ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam percakapan spiritual umat Islam, kata “zakat” sering hadir sebagai ibadah yang bersifat ritual sekaligus sosial. Namun dalam kajian tematik Qur’ani yang disampaikan oleh Husni Nasution pada kanal Syahida Sabtu (26/7), zakat diangkat dalam dimensi yang lebih dalam: sebagai representasi dari kecerdasan sosial yang tertanam dalam struktur ajaran Islam.
Mengangkat tema “Zakat sebagai Kecerdasan Sosial: Membumikan Makna Qur’ani”, Ustaz Husni memulai dengan menafsirkan QS. Al-A’raf: 156:
…فَسَاَكْتُبُهَا لِلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِاٰيٰتِنَا يُؤْمِنُوْنَۚ ١٥٦
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku itu bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”
Menurutnya, ayat ini bukan hanya membahas siapa yang mendapatkan rahmat Allah, melainkan juga menjelaskan prasyarat sosial-spiritual untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat.
“Ketika Allah menyebut zakat di antara takwa dan iman kepada ayat-ayat-Nya, ini bukan urutan sembarangan. Ini sinyal kuat bahwa zakat adalah ekspresi nyata dari kecerdasan sosial yang lahir dari ketakwaan dan keimanan yang sadar,” jelas Husni.
Zakat: Lebih dari Sekadar Kewajiban Finansial
sni menjelaskan bahwa pemahaman zakat sebagai kewajiban tahunan yang hanya diberikan dalam bentuk harta, meski sah secara fikih, bisa menutup kesadaran akan dimensi peradaban yang dikandungnya.
“Zakat bukan hanya soal membersihkan harta, tetapi juga membersihkan relasi sosial. Zakat membongkar sekat antara yang punya dan yang tidak, antara yang mapan dan yang tertindas,” tegasnya.
Dalam perspektif Qur’ani, zakat adalah langkah sistemik yang bertujuan menyembuhkan struktur sosial yang timpang. Oleh karena itu, zakat dalam Al-Qur’an selalu diletakkan bersama dengan shalat, sebagai bentuk keseimbangan antara ibadah vertikal dan horizontal.
Menjadi Bagian dari Jawaban Ilahi
Husni Nasution kemudian mengaitkan zakat dengan QS. Al-Baqarah: 201 — doa paling populer umat Islam: “Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah…”
Namun, menariknya, kata dia, doa ini sudah dijawab oleh Allah dalam QS. Al-A’raf: 156—bukan hanya dikabulkan, tapi juga ditetapkan syaratnya. Dan salah satu syarat utamanya adalah yu’tunaz zakata — orang-orang yang mendatangkan zakat, atau lebih tepatnya: mendatangkan keberkahan sosial.
“Kita selama ini terus mengulang doa, berharap mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, tetapi lupa bahwa Allah sudah memberikan jalur praktis untuk mencapainya. Salah satunya adalah menjadikan zakat sebagai gerakan sosial,” ujar Husni.
Zakat sebagai Sistem, Bukan Sekadar Sedekah
Kajian ini juga mengajak peserta untuk melihat zakat sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam yang mengandung potensi revolusi sosial. Menurut Husni, zakat bukan amal individual yang bisa digantikan dengan empati atau donasi, melainkan struktur yang dirancang Allah untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat.
“Zakat yang ditunaikan secara kolektif, dikelola dengan manajemen yang baik, akan membentuk semacam jaring pengaman sosial. Ia bukan hanya menolong mustahik, tapi juga mengurangi potensi kecemburuan, radikalisme, bahkan kriminalitas,” terang Husni.
Zakat yang dilaksanakan secara sistematis juga dapat berfungsi sebagai alat pengukur keadilan. Ketika ketimpangan ekonomi semakin lebar, maka pertanyaannya bukan hanya soal distribusi kekayaan, tapi juga sejauh mana sistem zakat berfungsi sebagaimana mestinya.
Zakat dan Etika Kepemimpinan Sosial
Husni mengajak audiens untuk membaca zakat sebagai tanggung jawab para pemimpin—baik pemimpin keluarga, komunitas, lembaga, maupun negara. Dalam konteks sosial-politik, zakat menuntut hadirnya sistem yang mampu memfasilitasi distribusi kekayaan secara adil dan transparan.
“Pemimpin yang tidak memikirkan cara agar zakat berjalan dengan efektif—baik dari sisi edukasi, regulasi, maupun distribusinya—hakikatnya sedang mengabaikan salah satu rukun keadilan dalam Islam,” tegasnya.
Lebih lanjut, Husni menyebut bahwa gerakan zakat tidak boleh hanya dikelola oleh lembaga filantropi semata, tetapi juga harus diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi nasional dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.
Bertindak Setelah Berdoa
Mengakhiri kajiannya, Ustaz Husni mengajak hadirin untuk mengubah orientasi spiritual: dari sekadar berharap menjadi bertindak.
“Jangan hanya mengulang doa ‘fiddunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah’ tanpa langkah nyata. Salah satu jalannya adalah: kuatkan takwa, hidupkan zakat sebagai gerakan sosial, dan jalani hidup dengan cahaya wahyu,” pungkasnya.(emha)