ppmindonesia.com.Jakarta— Polemik soal pengibaran bendera bajak laut “One Piece” oleh sejumlah remaja di beberapa wilayah Indonesia memantik reaksi beragam di tengah masyarakat. Sebagian pihak menyuarakan kekhawatiran terhadap lunturnya nasionalisme generasi muda. Namun, Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) menyatakan, fenomena ini bukan ancaman, melainkan alarm sosial yang patut direnungkan bersama.
“Anak-anak muda tidak serta-merta kehilangan rasa cinta tanah air hanya karena mengidolakan tokoh fiksi. Yang perlu ditelaah adalah mengapa mereka lebih mengenal Luffy ketimbang tokoh nasional seperti Tan Malaka atau Cut Nyak Dien,” kata Sekretaris Jenderal PPM Nasional , Anwar Hariyono dalam pernyataan resminya pada ppmindonesia, Rabu (6/8/2025).
Menurut PPM, fenomena ini mencerminkan minimnya ruang dialog dan apresiasi terhadap minat serta ekspresi generasi muda. Daripada menempuh pendekatan represif dan menyalahkan, PPM mendorong masyarakat serta negara untuk membuka ruang bimbingan yang konstruktif.
“Ini alarm bahwa ada jarak antara institusi pendidikan, narasi kebangsaan, dan realitas hidup anak muda hari ini. Alih-alih menanamkan nasionalisme dengan cara lama yang bersifat indoktrinatif, lebih baik kita membangun keterlibatan dan keteladanan,” ujar Anwar.
PPM juga menilai pengaruh budaya pop global tidak bisa dihindari. Namun, hal itu bisa dijadikan pintu masuk untuk mengenalkan nilai-nilai perjuangan lokal secara lebih segar. “Luffy bisa dikagumi karena memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Bukankah nilai itu juga yang diwariskan para pahlawan bangsa kita? Kita hanya perlu menjembatani cerita dengan cara yang kontekstual,” katanya.
Dalam beberapa waktu terakhir, polemik simbol bendera bajak laut ini muncul setelah sejumlah pelajar dan pemuda terlihat mengibarkan bendera “Straw Hat Pirates” di sekolah atau area umum. Sebagian masyarakat menilai tindakan itu melanggar norma dan mengabaikan simbol negara. Namun, PPM mengingatkan bahwa pendekatan represif hanya akan memperluas jurang ketidakpercayaan antargenerasi.
“Jika anak muda tidak merasa memiliki simbol-simbol bangsa, maka bukan mereka yang salah, tapi kita yang gagal menghidupkan makna simbol itu dalam kehidupan mereka,” tegas Anwar.
PPM mendesak agar peristiwa ini menjadi momentum refleksi bersama, bukan ajang pelabelan negatif. Pihaknya juga tengah menyusun sejumlah program literasi budaya dan kepemudaan berbasis komunitas, yang akan diluncurkan di beberapa kota, termasuk Bekasi dan Yogyakarta.
“Kita butuh pendekatan baru untuk generasi baru. Mereka tidak butuh ancaman, tapi arah. Tidak butuh celaan, tapi ruang. Dan untuk itu, masyarakat sipil dan negara harus hadir bersama, bukan saling menyalahkan,” pungkasnya.(acank)