ppmindonesia.com.Jakarta – Di banyak mimbar kita mendengar seruan yang penuh semangat: “Kalau kita berubah, Allah pasti berubah!” atau “Kalau kita bergerak, Allah akan membantu kita!” Ayat yang paling sering dikutip untuk mengukuhkan keyakinan ini adalah QS. Ar-Ra’d:11:
….اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ….١١
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Sayangnya, cara kita memahami ayat ini sering melahirkan kesalahpahaman besar: bahwa Allah menurut saja pada keinginan kita, bahwa Allah hanya bereaksi jika kita bergerak dulu. Seakan-akan Tuhan itu seperti ponakan yang menurut saja bila kita perintah, atau enggan berbuat bila kita malas.
Padahal bila kita cermati lebih dalam, ayat itu tidak sedang “mengancam” Allah atau memaksa-Nya untuk tunduk pada kehendak kita, tetapi menegaskan bahwa perubahan pada diri kita sendiri adalah bagian dari kehendak-Nya pula. Allah memberi kita ruang untuk berusaha, tetapi tetap di bawah rencana-Nya yang menyeluruh.
Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan:
“Kehendak hamba hanyalah percikan dari kehendak Allah. Setiap ikhtiar manusia tetap berada di bawah qadha dan qadar-Nya.”
Begitulah cara para ulama besar melihat persoalan takdir dan kehendak. Manusia memang diberi ikhtiar, tetapi dalam batas-batas yang sudah ditentukan Allah.
Realitas sehari-hari membuktikan betapa banyak hal di luar kendali kita. Kita tidak pernah bisa memilih di rahim siapa kita lahir, di negeri mana, pada tahun berapa, dengan kondisi apa. Kita juga tak bisa memilih kapan jantung berhenti, kapan ajal menjemput.
Allah berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُۗ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُۗ… ٦٨
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada bagi mereka pilihan….” (QS. Al-Qashash:68)
Ayat ini jelas: manusia memang memiliki peran, tetapi bukan peran penentu. Allah yang memilih, manusia yang menjalani.
Sayangnya, umat Islam hari ini diam-diam mewarisi pola pikir Mu’tazilah yang menolak takdir sebagai rukun iman. Mereka meyakini bahwa manusia sepenuhnya bebas dan Allah hanya mengaminkan saja.
Padahal Nabi ﷺ menegaskan bahwa semua anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), lalu lingkungan — khususnya orang tua — yang membentuknya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Bukhari dan Muslim).
Pesan hadis itu bukan untuk menegaskan kebebasan manusia mutlak, melainkan untuk mengingatkan betapa besarnya tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak. Karena fitrah itu sendiri pun adalah pemberian Allah.
Sebagai umat beriman, kita perlu kembali menundukkan hati pada realitas: kita memang diberi ruang untuk berusaha, tetapi bukan untuk memerintah Tuhan.
Kita bisa memilih menyalakan rokok atau memadamkannya, tetapi jantung yang berdetak, darah yang mengalir, dan napas yang keluar-masuk tetap berada di bawah kendali-Nya.
Prof. Fazlur Rahman pernah mengatakan:
“Kehendak bebas manusia adalah bagian dari sunnatullah, tetapi bukan untuk menggantikan atau mendikte Allah.”
Maka, berhentilah memperlakukan Tuhan seolah Dia adalah ponakan yang selalu menuruti kemauan kita. Berhentilah mengancam Allah dengan amal kita. Sebaliknya, berusahalah dengan penuh kesungguhan, sembari tetap menyadari bahwa hasilnya bukan hak kita untuk menentukan.
Karena pada akhirnya, kehendak kita hanyalah setetes di lautan kehendak-Nya. Dan sebagai hamba, tugas kita adalah bersujud, bukan memerintah.(emha)
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.
Catatan redaksi;
Artikel ini ditulis untuk mengajak kita semua merenung, agar tidak terjebak dalam kesombongan rohani yang secara tidak sadar memposisikan Allah sebagai pelayan keinginan kita. Semoga kita semua diberi kemampuan untuk ikhlas dalam berikhtiar dan ridha pada apa pun keputusan-Nya.