Scroll untuk baca artikel
BeritaUmkm

Koperasi Merah Putih: Dari Janji Menghidupkan Desa hingga Ancaman Mati Suri

21
×

Koperasi Merah Putih: Dari Janji Menghidupkan Desa hingga Ancaman Mati Suri

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Papan nama itu baru saja dipasang di depan sebuah ruko kecil di Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar. Catnya masih mengilap, tulisan “Koperasi Merah Putih” terpampang jelas. Tapi di dalamnya, rak-rak kosong, tanpa beras Bulog, tanpa tabung gas elpiji, apalagi pembeli.

Sejak diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada 21 Juli 2025, Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) digadang-gadang menjadi motor penggerak ekonomi desa. Janjinya manis: koperasi akan menjadi agen penyalur kebutuhan pokok sekaligus membuka lapangan kerja di daerah. Namun, di lapangan, cita-cita itu terhenti di awal langkah.

Di Kabupaten Blitar, 244 koperasi yang tersebar di 22 kecamatan belum bisa berjalan. “Kalau hanya mengandalkan simpanan wajib dan simpanan pokok, jumlahnya sangat kecil,” kata Kepala Dinas Koperasi dan UKM Blitar, Sri Wahyuni, Minggu, 10 Agustus 2025. Ia menyebut modal menjadi hambatan utama, sementara akses pinjaman dari Bank Himbara masih menunggu pembahasan soal agunan. “Belum ada yang cair,” ujarnya.

Padahal, Kementerian Keuangan lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun 2025 sudah memberi akses pinjaman hingga Rp3 miliar dengan bunga 6 persen per tahun dan tenor enam tahun. 

Tapi, seperti kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, bank penyalur tetap harus melakukan due diligence sebelum pinjaman dikucurkan. “Ini bukan masalah jatah koperasi harus dapat sekian. Pinjaman harus benar-benar membangun ekonomi desa,” ujarnya, 29 Juli 2025.

Ketiadaan modal membuat koperasi-koperasi Merah Putih nyaris tidak bergerak. Ramadhani, pengurus salah satu koperasi di Blitar, mengaku kendala bukan hanya modal, tapi juga ketiadaan lokasi usaha dan sumber daya manusia yang siap. “Jangan sampai cuma papan nama. Tempat dan SDM harus disiapkan,” katanya.

Situasi serupa terjadi di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Dari 290 koperasi yang terbentuk, baru satu yang beroperasi: Koperasi Indrasari di Martapura. Usahanya hanya minimarket sederhana dengan rak seadanya.

 “Modalnya Rp15 juta dari simpanan anggota,” kata Yulinda, pengurus koperasi itu. Ia menyebut 260 anggota masing-masing menyetor Rp100 ribu di awal dan iuran Rp10 ribu per bulan. “Kita mulai dari bawah, pelan-pelan. Justru nanti lebih kokoh,” ujarnya.

Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional menilai gejala ini sebagai tanda rapuhnya fondasi program. Sekretaris Jenderal PPM, Anwar Hariyono, mengingatkan agar koperasi tidak dijadikan proyek instan demi serapan anggaran. “Keberhasilan koperasi diukur dari sejauh mana ia mensejahterakan anggotanya, bukan dari jumlah yang terbentuk,” katanya.

Menurut Anwar, koperasi yang sehat lahir dari kebutuhan riil warga, dikelola secara profesional, dan memiliki rencana bisnis yang jelas. “Kalau dibentuk top-down tanpa ruh gotong royong, koperasi hanya jadi nama tanpa nyawa,” ujarnya.

Di Blitar, papan nama itu masih berdiri kokoh di depan ruko kosong. Tapi jika modal tak kunjung datang dan SDM tak disiapkan, papan itu bisa jadi satu-satunya yang tersisa — monumen diam dari sebuah janji besar yang kandas sebelum sempat berlayar.(acank)

Example 120x600