Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Amran vs Amraini: Kesatuan Ketetapan Allah dan Rasul-Nya

14
×

Amran vs Amraini: Kesatuan Ketetapan Allah dan Rasul-Nya

Share this article

Penulis; syahida| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Bogor – Di tengah diskusi tentang sumber ajaran Islam, ada satu istilah penting yang sering luput dari perhatian: amran dan amraini. Perbedaan satu huruf ini ternyata membawa perbedaan makna yang besar.

Husni Nasution, dalam kajian Qur’an bil Qur’an di kanal Syahida, mengajak jamaah menelusuri bagaimana Al-Qur’an memandang hubungan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Dalam QS Al-Ahzab [33]:36, Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْۗ …۝٣٦

“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (amran), ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka…”

Kata yang digunakan adalah amran—bentuk tunggal, menunjukkan bahwa ketetapan Allah dan Rasul-Nya adalah satu, tidak terpisah.

Hadis Populer dan Istilah Amraini

Namun, di kalangan umat, ada hadis populer yang berbunyi: “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara (amraini), jika kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan sesat selamanya: Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.”

Perhatikan bedanya: hadis ini menggunakan istilah amraini—dua ketetapan atau dua perkara. Secara bahasa, ini memisahkan Kitabullah di satu sisi dan sunnah Rasul di sisi lain sebagai dua pegangan yang berdiri sendiri.

Menurut Husni, inilah titik perbedaan yang krusial. Jika dalam Qur’an Allah menegaskan kesatuan ketetapan-Nya dengan Rasul (amran), mengapa dalam praktik umat seolah ada dua sumber setara yang terpisah (amraini)?

Risiko Pemisahan Pegangan

Pemisahan ini, kata Husni, dapat menimbulkan problem teologis. Ketika sunnah Rasul ditempatkan sebagai sumber setara Kitabullah tanpa kembali mengujinya kepada Al-Qur’an, ada risiko Qur’an menjadi nomor dua.

Padahal, QS An-Nisa’ [4]:80 menegaskan:

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَۚ…۝٨٠

 “Barang siapa taat kepada Rasul, sungguh ia telah taat kepada Allah.”

Artinya, ketaatan kepada Rasul tidak mungkin bertentangan atau berjalan terpisah dari ketaatan kepada Allah. Rasul tidak mungkin menetapkan hukum yang keluar dari Kitabullah, karena ketetapan itu satu sumber: wahyu Allah.

Cukup Satu Ketetapan

Husni mengingatkan, kesatuan ketetapan ini ditegaskan juga dalam QS Al-Ankabut [29]:51-52, ketika Allah bertanya apakah Kitab yang diturunkan sudah cukup, lalu memerintahkan Rasul menjawab: “cukup”.

Jawaban “cukup” itu adalah bentuk pengakuan bahwa sumber hukum, petunjuk, dan ketetapan agama ada dalam wahyu yang satu, bukan dua sumber terpisah.

Menimbang Ulang Istilah yang Kita Gunakan

Bagi Husni, memahami perbedaan amran dan amraini bukan sekadar urusan tata bahasa Arab, tapi soal prinsip. Jika kita mengikuti istilah Qur’an, maka Allah dan Rasul satu dalam ketetapan, satu dalam sumber, satu dalam hukum.

Namun jika kita membiasakan diri dengan amraini, tanpa sadar kita telah memisahkan keduanya—dan itu berpotensi menggeser posisi Al-Qur’an dari pusat ajaran.

Pertanyaan Sederhanya

Pertanyaannya kini sederhana: jika Qur’an menyebut amran, mengapa kita merasa perlu mengubahnya menjadi amraini? Dan jika Rasulullah sendiri hidup dalam satu ketetapan dengan Allah, mengapa kita malah membelahnya menjadi dua?

Karena pada akhirnya, kesatuan ketetapan ini bukan hanya masalah kata, tetapi inti dari ketaatan: satu Tuhan, satu Rasul, satu wahyu, satu pegangan.(syahida)

*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial. 

Example 120x600