ppmindonesia.com.Bogor- Satu kata bisa menguji keyakinan. Satu kata bisa membedakan antara sikap Rasulullah dengan sikap umatnya. Kata itu adalah “cukup”.
Dalam QS Al-Ankabut [29]:51, Allah bertanya:
اَوَلَمْ يَكْفِهِمْ اَنَّآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ يُتْلٰى عَلَيْهِمْۗ…٥١
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab yang dibacakan kepada mereka?”
Pertanyaan itu tidak berhenti di situ. Ayat berikutnya (QS Al-Ankabut [29]:52) memerintahkan Rasulullah untuk menjawab:
قُلْ كَفٰى بِاللّٰهِ .. ٥٢
“Katakanlah, cukuplah.”
Husni Nasution, narasumber kajian Qur’an bil Qur’an di kanal Syahida, menekankan bahwa jawaban ini bukanlah pendapat pribadi Nabi, melainkan perintah langsung dari Allah. Rasul tidak sekadar berkata “cukup” karena pendapatnya sendiri, tetapi karena wahyu yang memerintahkannya begitu.
Ketika Umat Menjawab Berbeda
Namun, realitasnya, banyak umat Islam menjawab pertanyaan itu dengan kata lain: tidak cukup. Sebab mereka berpegang pada dua sumber: Al-Qur’an dan hadis. Keyakinan ini sering disandarkan pada sebuah riwayat populer: “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara (amraini): Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.”
Di titik inilah Husni mengajak kita merenung: jika Rasulullah sendiri diperintah Allah untuk menjawab “cukup” dengan Kitab yang diturunkan, mengapa umat justru berkata “tidak cukup”?
Kesatuan Ketetapan: Amran, Bukan Amraini
Al-Qur’an memandang ketetapan Allah dan Rasul sebagai satu kesatuan. Dalam QS Al-Ahzab [33]:36, Allah berfirman:
…اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْۗ… ٣٦
“…apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (amran), tidak ada pilihan lain bagi orang beriman…”
Istilah amran (tunggal) di sini penting. Ia menunjukkan bahwa ketetapan Allah dan Rasul-Nya bersumber dari wahyu yang sama. Bukan dua ketetapan sejajar (amraini), sebagaimana disebut dalam riwayat hadis tersebut.
Bagi Husni, perbedaan istilah ini mengandung konsekuensi serius: apakah kita memandang Allah dan Rasul sebagai satu sumber hukum, atau dua sumber sejajar yang masing-masing bisa berdiri sendiri?
Risiko Mengganti “Cukup” dengan “Kurang”
Husni mengingatkan bahwa menempatkan sunnah sejajar dengan Kitabullah, tanpa mengembalikannya pada Al-Qur’an, bisa membuat Kitabullah tersisih. Bahkan, ada risiko umat lebih merujuk pada hadis yang dihafalnya daripada ayat yang mungkin tidak diketahuinya.
Jika ini dibiarkan, maka “cukup” versi Rasulullah berubah menjadi “kurang” versi umat. Dan ketika itu terjadi, peringatan QS Ali Imran [3]:78 menjadi relevan:
وَاِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَّلْوٗنَ اَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتٰبِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتٰبِ… ٧٨
“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutarbalikkan Kitab dengan lidah mereka, supaya kamu menyangka itu dari Kitab, padahal itu bukan dari Kitab.”
Kembali ke Kata yang Mengguncang
Satu kata, “cukup”, ternyata bukan sekadar jawaban singkat. Ia adalah deklarasi iman. Ia adalah sikap tunduk pada wahyu. Ia adalah penegasan bahwa Allah sudah memberi yang lengkap, tanpa kekurangan sedikit pun.
Jika Rasulullah sendiri menjawab “cukup” atas perintah Allah, maka pertanyaannya: apakah kita berani menjawab berbeda? (syahida)