ppmindonesia.com.Pati – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen yang diberlakukan Pemerintah Kabupaten Pati sejak awal tahun ini menjadi pemantik gelombang protes luas warga, dan kini merembet menjadi krisis politik yang melibatkan eksekutif dan legislatif daerah.
Kebijakan yang semula diklaim sebagai bagian dari “penyesuaian nilai jual objek pajak” itu, justru memicu kemarahan masyarakat, khususnya para petani dan pelaku usaha kecil. Kenaikan pajak yang melesat lebih dari dua kali lipat membuat beban biaya produksi meningkat, di tengah kondisi harga gabah yang cenderung stagnan.
“Bagi kami yang hidup dari sawah, kenaikan PBB seperti ini tidak masuk akal. Kami bukan perusahaan besar yang punya margin keuntungan lebar,” ujar Suyatno (56), petani dari Kecamatan Margorejo, di sela aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Pati, Rabu (13/8/2025).
Aksi yang Meluas
Sejak diumumkan pada awal Maret, kebijakan ini telah memicu setidaknya lima kali aksi unjuk rasa. Ribuan warga dari berbagai kecamatan mendatangi kantor Bupati dan DPRD, membawa spanduk bernada protes, serta menuntut pembatalan kenaikan.
Gelombang protes ini mulai membentuk narasi politik yang lebih besar. Sejumlah anggota DPRD, terutama dari fraksi oposisi, menuding Bupati mengambil keputusan tanpa kajian sosial-ekonomi memadai. Bahkan, isu hak angket mulai mencuat, dengan alasan adanya potensi pelanggaran prosedur dalam penetapan peraturan daerah terkait tarif PBB.
Bupati Bertahan
Bupati Pati membela kebijakan tersebut dengan dalih bahwa penyesuaian tarif PBB dibutuhkan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD). “Tanpa peningkatan PAD, program pembangunan akan terhambat. Kita perlu dana untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan,” ujarnya dalam keterangan pers, Senin lalu.
Namun, pernyataan ini dinilai tidak cukup meredakan kemarahan warga. “Pembangunan memang penting, tapi jangan mengorbankan rakyat kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah,” kata Siti Rohmah, koordinator Aliansi Petani Pati Bersatu.
Tekanan ke DPRD
Posisi DPRD kini berada di bawah sorotan publik. Sebagian anggota mulai mendesak revisi perda, sementara yang lain memilih menunggu proses evaluasi internal. Situasi ini membuat hubungan eksekutif-legislatif memanas.
“Jika DPRD gagal merespons aspirasi rakyat, bukan tidak mungkin akan muncul gerakan mosi tidak percaya yang lebih luas,” ujar pengamat politik lokal, Ahmad Fathoni, ujarnya
Krisis yang Menguji Kepemimpinan
Krisis politik akibat kebijakan PBB ini menjadi ujian serius bagi kepemimpinan daerah. Bagaimana Bupati dan DPRD menavigasi tuntutan publik akan menentukan arah stabilitas politik Pati dalam beberapa bulan ke depan.
“Ini bukan sekadar soal angka pajak, tapi soal legitimasi pemerintah daerah di mata rakyat,” tambah Fathoni.
Hingga berita ini diturunkan, aksi protes masih berlangsung, dan warga menegaskan akan terus menolak hingga kebijakan tersebut dicabut atau direvisi secara signifikan.(acank)