Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Apakah Kita Hendak Mengajari Allah Tentang Agama Kita?

3
×

Apakah Kita Hendak Mengajari Allah Tentang Agama Kita?

Share this article

Penulis: syahida| Editor: asyary|

ppmindonesia.com.Bogor – Pertanyaan ini terdengar tajam, bahkan mungkin menusuk hati. Namun, ia bukanlah provokasi manusia, melainkan kutipan langsung dari firman Allah dalam QS Al-Hujurat [49]:16:

قُلْ اَتُعَلِّمُوْنَ اللّٰهَ بِدِيْنِكُمْۗ… ۝١٦

“Apakah kamu hendak mengajari Allah tentang agamamu?”

Dalam kajian Qur’an bil Qur’an yang dibawakan di kanal Syahida, Husni Nasution mengajak umat merenungi makna ayat ini. Menurutnya, ini adalah teguran yang sangat relevan di tengah fenomena keberagamaan kita hari ini—ketika banyak ajaran dan praktik yang disandarkan pada agama, namun tidak bersumber dari Kitabullah.

Menambahkan pada yang Sudah Cukup

Husni menyinggung firman Allah dalam QS Al-Ankabut [29]:51-52. Di sana Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa Kitab yang diturunkan sudah cukup sebagai pegangan. Rasulullah pun diperintahkan untuk menjawab, “cukup”.

Namun, faktanya banyak umat menjawab berbeda: tidak cukup. Mereka merasa perlu menambahkan sumber lain yang ditempatkan sejajar dengan Al-Qur’an. Alasannya sederhana: untuk melengkapi hal-hal yang tidak ada di Qur’an.

“Padahal,” ujar Husni, “ketiadaan suatu rincian dalam Al-Qur’an bukan berarti Allah lupa atau lalai. Bisa jadi karena kita belum memahami Qur’an secara mendalam. Menambah pada yang sudah cukup justru berarti kita merasa tahu lebih dari Allah.”

Bid’ah: Mengada-ada dalam Agama Allah

Fenomena ini bukan hanya masalah teknis hukum, tetapi soal sikap hati. Dalam QS Ali Imran [3]:78, Allah memperingatkan tentang orang-orang yang memutarbalikkan Kitab dan mengatasnamakan sesuatu sebagai firman Allah padahal bukan.

Husni mengingatkan, “Ketika kita menambahkan ajaran atau aturan yang tidak ada dalam wahyu, itu bukan sekadar mubazir, tapi bisa menjadi bid’ah—mengada-ada dalam agama Allah.”

Amran vs Amraini

Salah satu contoh yang ia bahas adalah perbedaan antara konsep amran (ketetapan tunggal Allah dan Rasul-Nya) dalam QS Al-Ahzab [33]:36 dengan konsep amraini (dua perkara: Kitabullah dan sunnah Rasul) yang muncul dalam sebagian riwayat.

Bagi Husni, Al-Qur’an memandang ketetapan Allah dan Rasul sebagai satu sumber—wahyu. Jika sunnah diposisikan sebagai sumber hukum yang sejajar dan terpisah dari Al-Qur’an, risiko terbesarnya adalah menjadikan Al-Qur’an sekunder, bahkan tersisih.

Refleksi untuk Umat

Pertanyaannya kembali ke diri kita: Apakah kita masih menempatkan Kitabullah sebagai sumber utama, ataukah kita lebih sering merujuk pada sumber-sumber sekunder yang belum tentu terjamin kebenarannya?

Jika Allah telah menetapkan ukuran yang cukup, adakah kita merasa perlu menambahinya? Dan jika iya, bukankah itu berarti kita, sadar atau tidak, sedang mencoba “mengajari” Allah tentang agama kita?

Husni menutup kajian dengan mengingatkan firman Allah dalam QS Al-Furqan [25]:31:

…وَكَفٰى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَّنَصِيْرًا ۝٣١

 “Cukuplah Tuhanmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.”

Cukup. Satu kata yang menuntut ketundukan total. Satu kata yang, jika diubah menjadi “tidak cukup”, bisa mengubah seluruh fondasi iman.(syahida)

Example 120x600