ppmindonesia.com.Jakarta, – Julukan pahlawan tanpa tanda jasa kembali menggema setiap kali Hari Guru diperingati. Namun di balik retorika manis itu, realita kesejahteraan guru—khususnya guru honorer—masih jauh dari kata layak.
Di banyak daerah, ribuan guru honorer bertahan dengan gaji di bawah upah minimum regional (UMR). Survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada 2024 mencatat, guru honorer di sejumlah wilayah hanya menerima Rp300 ribu hingga Rp1,5 juta per bulan. Angka ini tak sebanding dengan beban kerja yang mencakup mengajar, administrasi, hingga kegiatan sekolah di luar jam pelajaran.
“Guru diminta mencetak generasi emas, tapi kesejahteraan mereka sendiri jauh dari emas. Bagaimana mungkin kualitas pendidikan bisa tumbuh jika pendidiknya hidup dalam kesulitan?” kata Gus Elam Taufiq pengasuh Pondok Pesantren At Taufik Bekasi. saat dihubungi ppmindonesia.com, Senin (18/8/2025).
Anggaran Jumbo, Guru Masih Menunggu
Ironisnya, di sisi lain, pemerintah mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan setiap tahun. Pada 2025, anggaran pendidikan mencapai Rp708 triliun—terbesar sepanjang sejarah. Namun, dana jumbo itu belum mampu menjawab problem kesejahteraan guru di lapangan.
Mayoritas anggaran masih terserap pada pembangunan infrastruktur, program digitalisasi, hingga transfer daerah, bukan secara langsung meningkatkan gaji guru. Program pengangkatan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memang digulirkan, tetapi realisasinya masih terbatas dan belum merata.
“Banyak guru honorer yang sudah mengajar belasan tahun, tetap belum jelas statusnya. PPPK hanya menyentuh sebagian, sementara yang lain menunggu nasib,” ujar seorang guru honorer di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang sudah 12 tahun mengajar dengan gaji Rp500 ribu per bulan.
Antara Retorika dan Realita
Di ruang publik, guru kerap dielu-elukan sebagai tulang punggung peradaban bangsa. Namun dalam kehidupan sehari-hari, mereka menghadapi dilema ekonomi yang memaksa sebagian untuk mencari pekerjaan sampingan—dari menjadi ojek daring, berjualan, hingga membuka les privat dengan tarif murah.
Ketimpangan ini kian terasa bila dibandingkan dengan profesi lain di lingkar kekuasaan. Anggota DPR, misalnya, menerima gaji pokok dan tunjangan hingga Rp70 juta per bulan, belum termasuk fasilitas lainnya. Perbandingan mencolok itu menegaskan betapa penghargaan terhadap guru masih sebatas kata-kata.
Tuntutan Reformasi Kesejahteraan
Pemerhati pendidikan , Alif Purnomo, menilai bahwa pemerintah harus lebih serius dalam mendesain kebijakan afirmatif untuk guru. “Jika pemerintah berani mengalokasikan subsidi energi ratusan triliun, seharusnya memperjuangkan kesejahteraan guru juga bisa menjadi prioritas. Tanpa guru yang sejahtera, wacana SDM unggul hanya akan jadi mimpi,” ujarnya.
Ke depan, reformasi tata kelola pendidikan harus memastikan alokasi anggaran lebih tepat sasaran, dengan prioritas pada peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik. Jika tidak, julukan pahlawan tanpa tanda jasa akan tetap menjadi ironi: penghargaan simbolik yang tidak pernah berubah menjadi kesejahteraan nyata.(acank