Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Umat Membaca, Namun Tak Memahami: Kisah Frasa Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min Rusulih

6
×

Umat Membaca, Namun Tak Memahami: Kisah Frasa Laa Nufarriqu Baina Ahadin Min Rusulih

Share this article

Penulis: syahida| Editor: asyary|

ppmindonesia.com. Bogor — Hampir setiap Muslim pernah mengucapkan kalimat “Laa nufarriqu baina ahadin min rusulih” — “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para rasul-Nya” — baik selepas shalat, dalam bacaan doa, atau saat tahlilan. 

Namun, dalam kajian Qur’an bil Qur’an di kanal Syahida, Husni Nasution mengingatkan bahwa banyak umat membacanya hanya sebagai rutinitas, tanpa memahami konsekuensi iman yang terkandung di dalamnya.

“Kalimat itu bukan sekadar hiasan doa. Ia adalah sumpah iman yang sangat serius, dan dilanggar ketika kita mengunggulkan satu rasul secara berlebihan hingga menempatkannya di atas yang lain,” ujar Husni.

Ia mengutip Qur’an Surah An-Nisā’ [4]:152 yang menegaskan:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَلَمْ يُفَرِّقُوْا بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْ اُولٰۤىِٕكَ سَوْفَ يُؤْتِيْهِمْ اُجُوْرَهُمْۗ…۝١٥٢

“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberi mereka pahala.”

Menurutnya, ayat ini merupakan kelanjutan dari Qur’an 4:150-151, yang justru memberi peringatan keras bahwa membeda-bedakan para rasul adalah bentuk kekafiran yang sejati (kāfirīna ḥaqqā).

Kontradiksi dalam Kehidupan Beragama

Husni menilai, di tengah masyarakat justru terjadi ironi: mereka melafalkan frasa ini berkali-kali, namun dalam praktiknya mengunggulkan Rasulullah Muhammad ﷺ secara berlebihan, bahkan sampai muncul keyakinan bahwa seluruh alam semesta tercipta karena Nur Muhammad.

“Ini bukan sekadar penghormatan, tapi sudah mengarah pada pengkultusan. Padahal, seluruh rasul membawa risalah yang sama — hanya bahasa dan konteks penyampaiannya yang berbeda,” jelasnya, merujuk Qur’an 4:163-164 dan Qur’an 14:4.

Risalah Satu, Bahasa Berbeda

Dalam penjelasannya, Husni menegaskan bahwa semua rasul diutus dengan inti ajaran yang sama: tauhid murni. Perbedaan yang terlihat hanyalah cara penyampaian sesuai bahasa dan kebutuhan kaumnya.

“Bahasa boleh berbeda, gaya penyampaian boleh menyesuaikan zaman dan budaya, tetapi inti risalah itu satu — mengabdi hanya kepada Allah, tanpa perantara,” katanya.

Memahami Lebih dari Sekadar Menghafal

Bagi Husni, masalahnya bukan terletak pada bacaan doa atau lafaz yang diucapkan, tetapi pada kesadaran makna. “Banyak yang mengira sudah beriman hanya karena mengucapkan kalimat ini. Padahal, yang Allah minta adalah konsistensi sikap, bukan sekadar lisan,” ujarnya.

Ia mengingatkan, memahami makna frasa “Laa nufarriqu baina ahadin min rusulih” berarti menolak segala bentuk pembedaan derajat wahyu di antara para rasul, serta menghindari keyakinan yang menjadikan satu nabi sebagai sumber keselamatan yang eksklusif.

Pesan Penutup

“Kalimat ini adalah janji iman. Jika diucapkan, ia harus dipegang. Sebab melanggarnya berarti mengingkari prinsip yang kita sendiri ikrarkan,” pungkas Husni.

Kajian ini menjadi pengingat bahwa membaca ayat atau doa adalah pintu awal, tetapi memahami dan mengamalkannya adalah inti perjalanan iman.(syahida)

*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.

Example 120x600