ppmindonesia.com.Bogor- Di tengah masyarakat Muslim, perdebatan mengenai sumber utama ajaran Islam kerap muncul kembali. Sebagian menegaskan, Kitabullah adalah satu-satunya pedoman. Sebagian lain menekankan, harus ada dua pegangan: Qur’an dan sunnah. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Al-Qur’an sendiri?
Pertanyaan ini menjadi inti pembahasan dalam kajian Qur’an bil Qur’an di kanal Syahida, bersama narasumber Husni Nasution. Dalam suasana tenang, beliau membuka mushaf, lalu membaca pelan QS Al-Ankabut [29]:51:
اَوَلَمْ يَكْفِهِمْ اَنَّآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ يُتْلٰى عَلَيْهِمْۗ…٥١
“Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab yang dibacakan kepada mereka?”
Jawaban yang Allah Ajarkan kepada Rasul-Nya
Bagi Husni, ayat ini bukan sekadar teguran. “Ini sebuah ujian keimanan,” ujarnya. “Dan uniknya, di ayat berikutnya, Allah langsung mengajarkan jawaban kepada Rasulullah: Qul kafaa — katakanlah: cukup. Rasul tidak diminta mencari jawaban sendiri. Allah yang menentukan kata itu.”
Menurutnya, jika seseorang mengaku beriman kepada Rasulullah, ia mestinya menjawab seperti Rasul menjawab. “Cukup. Itu bukan kata sembarangan. Itu perintah wahyu,” tegasnya.
Mengapa Ada yang Mengatakan Qur’an Tidak Cukup?
Di tengah masyarakat, ada pandangan yang merujuk pada hadis tentang dua perkara (amraini): Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Pandangan ini, menurut Husni, sering dijadikan alasan bahwa Qur’an saja tidak cukup.
Ia mengingatkan, di sinilah letak persoalan. “Kalau ketaatan kepada Rasulullah diartikan sebagai ketaatan pada hadis semata, lalu dikaitkan dengan QS An-Nisa [4]:80 — ‘Barang siapa taat kepada Rasul, sungguh ia taat kepada Allah’ — maka logika sebagian orang bisa sampai pada kesimpulan: kalau sudah taat pada hadis, berarti sudah taat pada Allah. Qur’an pun seolah bisa ditinggalkan. Ini berbahaya,” jelasnya.
Kesatuan Ketetapan Allah dan Rasul-Nya
Husni kemudian mengutip QS Al-Ahzab [33]:36 yang menegaskan ketetapan Allah dan Rasul-Nya adalah satu (amran), bukan dua (amraini). “Hadis tentang dua perkara itu memisahkan sumber menjadi dua yang sejajar. Padahal Qur’an menegaskan kesatuan ketetapan. Allah dan Rasul-Nya tidak berbeda dalam hukum,” katanya.
Apakah Kita Hendak Mengajari Allah?
Peringatan lain datang dari QS Al-Hujurat [49]:16:
قُلْ اَتُعَلِّمُوْنَ اللّٰهَ بِدِيْنِكُمْۗ…١٦
“Apakah kamu hendak mengajari Allah tentang agamamu?”
Menurut Husni, mengatakan Qur’an tidak cukup sama saja menganggap Allah belum menyempurnakan agama. Padahal, setiap tambahan yang tidak ditetapkan Allah adalah bid’ah. Ia juga mengingatkan QS Ali Imran [3]:78, tentang ajaran yang diatasnamakan kepada Allah, padahal bukan dari-Nya.
“Kadang bukan karena Qur’an kurang, tapi karena kita kurang paham. Lalu, alih-alih belajar lebih dalam, kita malah menambah-nambah,” ujarnya.
Cukuplah Tuhanmu
Kajian ditutup dengan QS Al-Furqan [25]:31:
…..وَكَفٰى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَّنَصِيْرًا ٣١
“Cukuplah Tuhanmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.”
“Cukup bukan berarti menolak penjelasan Rasul, tapi menegaskan bahwa Kitab yang Allah turunkan adalah pedoman utama. Menolak kata ‘cukup’ berarti menolak cara Rasulullah menjawab pertanyaan Allah. Kalau itu yang kita lakukan, di mana letak keimanan kita?” pungkas Husni, meninggalkan jamaah dalam hening tafakkur.(syahida)
*Husni Nasution, seorang pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an asal Bogor. Alumni IAIN Sumatera Utara ini dikenal dengan gagasannya tentang Nasionalisme Religius dan kepeduliannya pada isu-isu solidaritas sosial.”
 













 
							

 












