ppmindonesia.com.Bogor– – Dunia modern dengan segala kompleksitasnya melahirkan fenomena generasi yang rentan terhadap stres, kecemasan, dan gangguan mental. Tekanan kerja, dinamika sosial, hingga bombardir informasi digital menjadi pemicu utamanya. Namun, jauh sebelum ilmu psikologi modern berkembang, Al-Qur’an telah menawarkan solusi mendasar untuk membangun ketahanan mental yang kokoh.
Husni Nasution, dalam kajian khusus di kanal Syahida, mengungkapkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang penuh dengan psikoterapi ilahiah. “Allah SWT tidak hanya menurunkan ayat-ayat tentang hukum, tetapi juga tentang penawar bagi hati yang gelisah. Solusi yang ditawarkan bukanlah pelarian, tetapi konsep hidup yang mendalam untuk meraih ketenangan sejati,” ujarnya.
Mengurai Stres dengan Konsep “Laa Yukallifullahu Nafsan Illa Wus’ahaa”
Husni mengawali penjelasannya dengan mengutip QS Al-Baqarah [2]: 286, yang menjadi landasan utama psikologi Islam.
…رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ… ٢٨٦
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
“Ayat ini adalah dasar utama mengelola beban psikologis,” tegas Husni. “Allah, sebagai Sang Pencipta, tahu persis batas kemampuan hamba-Nya. Stres seringkali muncul karena kita merasa dibebani melebihi kapasitas kita, atau karena kita memaksa diri untuk mengangkat beban yang bukan milik kita—seperti memaksakan standar orang lain pada hidup kita atau terus-menerus membandingkan diri.
Ayat ini mengingatkan kita untuk menerima kapasitas diri, melakukan yang terbaik yang kita mampu, dan kemudian bertawakal. Ini adalah prinsip manajemen beban yang sangat rasional.”
Zikir sebagai Terapi: “Alaa Bi Zikrillahi Tatma’innul Quluub”
Prinsip kedua yang ditekankan Husni adalah terapi melalui zikir. Allah SWT berfirman dalam QS Ar-Ra’d [13]: 28, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
“Zikir di sini bukan sekadar ucapan lisan, tetapi suatu keadaan di mana hati dan pikiran terhubung dengan Allah. Dalam ilmu psikologi modern, ini sejalan dengan konsep mindfulness—hadir sepenuhnya pada momen saat ini.
Namun, zikir lebih dalam lagi karena menghubungkan kesadaran tersebut dengan Sang Pencipta, sumber ketenangan yang abadi,” papar Husni.
Ia menambahkan bahwa rutinitas zikir, shalat, dan membaca Al-Qur’an telah terbukti secara medis menurunkan hormon kortisol (hormon stres) dan meningkatkan hormon oksitosin yang menenangkan. “Ini adalah bukti ilmiah dari janji Allah. Jadi, ketenangan itu bukan abstrak, tapi bisa diukur.”
Bersyukur dan Berprasangka Baik: Vaksin terhadap Kecemasan
Husni juga menguraikan dua “vaksin” mental dari Al-Qur’an. Pertama, adalah syukur. QS Ibrahim [14]: 7 menyatakan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu…”
“Syukur mengalihkan fokus kita dari apa yang tidak kita miliki kepada apa yang kita miliki. Ini melatih otak untuk melihat cahaya, bukan bayangan. Praktiknya, dengan mencatat tiga hal yang disyukuri setiap hari, secara neurosains, dapat membentuk ulang jalur saraf untuk lebih bahagia,” jelasnya.
Kedua, adalah berprasangka baik (husnuzhan) kepada Allah, termasuk dalam menghadapi musibah. QS Al-Baqarah [2]: 216 menyatakan, “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu…”
“Banyak kecemasan berakar dari ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Husnuzhan adalah keyakinan bahwa apapun yang Allah tetapkan bagi hamba-Nya, pasti mengandung hikmah dan kebaikan, sekalipun terlihat pahit pada awalnya. Ini memberikan ketenangan yang luar biasa karena kita melepas kecemasan pada Dzat yang Maha Mengatur,” tutur Husni.
Pesan untuk Generasi Kini: Kembali kepada Fitrah
Dalam konteks kekinian, Husni Nasution menegaskan bahwa solusi Al-Qur’an tetap relevan. “Generasi sekarang mencari pelarian ke hiburan, travel, atau bahkan hal-hal negatif untuk mengatasi stres.
Itu semua hanya solusi sementara. Al-Qur’an menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah: pengakuan atas keterbatasan diri, koneksi dengan Sang Pencipta, dan pengelolaan pola pikir.”
“Yang diperlukan adalah konsistensi. Membaca dan mengkaji Al-Qur’an bukan hanya untuk mendapat pahala, tetapi untuk menemukan user manual bagi jiwa kita sendiri.
Di dalamnya sudah ada panduan mengelola emosi, menghadapi kegagalan, dan menemukan makna hidup. Itulah ketahanan mental sejati yang telah Allah siapkan sejak 14 abad yang lalu,” pungkasnya.
Dengan demikian, Al-Qur’an tidak lagi hanya dipandang sebagai kitab ritual, melainkan sebagai pedoman hidup holistik yang menjawab segala persoalan manusia, termasuk kesehatan mental di zaman yang penuh tekanan ini.(syahida)
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.
 













 
							

 












