Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Publik Menunggu, Partai Mau Tegas atau Hanya Simbol Politik

134
×

Publik Menunggu, Partai Mau Tegas atau Hanya Simbol Politik

Share this article

Penulis: acank | Editor: asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta — Polemik istilah nonaktif bagi anggota DPhttps://ppmindonesia.com/index.php/2025/09/01/publik-menunggu-partai-mau-tegas-atau-hanya-simbol-politik/R kembali menuai sorotan publik. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan bahwa istilah tersebut tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 jo. UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

“Undang-Undang MD3 tidak mengenal istilah nonaktif. Yang ada hanya mekanisme pergantian antar waktu (PAW),” kata Titi saat dihubungi, Ahad (31/8/2025).

Titi menjelaskan, proses PAW dimulai dari usulan resmi partai kepada pimpinan DPR, diteruskan kepada Presiden, lalu ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Mekanisme itu sekaligus memberhentikan anggota DPR bersangkutan dan menetapkan penggantinya, yakni caleg dengan suara terbanyak berikutnya di daerah pemilihan yang sama.

 

Selama proses tersebut belum dijalankan, anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai tetap sah sebagai anggota dewan dengan seluruh hak dan kewajibannya. “Dengan kata lain, istilah nonaktif tidak memiliki konsekuensi hukum apa pun. Mereka masih berhak menerima gaji dan fasilitas,” ujar Titi.

Hak Keuangan Tak Hilang

Berdasarkan Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, anggota yang diberhentikan sementara tetap memperoleh hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan. 

Hak itu mencakup gaji pokok, tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi, hingga tunjangan beras. Selain itu, anggota DPR periode 2024–2029 juga mendapatkan tunjangan rumah, mengingat tidak lagi difasilitasi rumah jabatan.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik: jika status hukum tetap melekat, sejauh mana efektivitas “penonaktifan” sebagai bentuk sanksi politik?

Ambivalensi Politik

Sejumlah pengamat menilai penonaktifan anggota DPR, seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya, lebih sebagai strategi meredam kemarahan publik sesaat. Mantan anggota DPR Fraksi NasDem periode 2014 – 2019, Zulfan Lindan, menilai sikap partai belum mencerminkan ketegasan. Dikutip dari siaran Kompas Petang Kompas TV via YouTube, Minggu (31/8).

“Kalau kata-kata nonaktif, kan, suatu saat bisa aktif lagi. Jadi sebenarnya bukan nonaktif, kalau perlu dipecat, bukan hanya dari DPR, tapi juga dari partai,” kata Zulfan.

Perbedaan mencolok terlihat antara istilah nonaktif dan recall (PAW). Recall adalah mekanisme resmi partai menarik kadernya dari DPR, dengan konsekuensi hukum yang jelas. Sementara nonaktif hanyalah istilah politik internal, sebatas pencopotan jabatan fraksi atau pembekuan fungsi representasi.

Apresiasi PPM Nasional

Di sisi lain, Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang mengumpulkan ketua-ketua partai politik menghadapi situasi masyarakat yang semakin tidak terkendali.

Sekjen PPM Nasional, Anwar Hariyono, sepakat dengan pandangan Titi Anggraini. Ia menilai partai politik tengah bermain di wilayah abu-abu dengan menggunakan istilah nonaktif.

“Artinya, partai politik membuat keputusan yang tidak ada dalam UU MD3. Ini justru membingungkan publik,” ujar Anwar.

Bola di Tangan Partai

Ketua MKD DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, mendorong parpol untuk menonaktifkan anggota DPR yang memicu emosi masyarakat. Menurutnya, langkah itu bisa menjaga marwah DPR.

Namun, tanpa dasar hukum yang jelas, penonaktifan dikhawatirkan hanya berhenti pada simbolisme politik.

Kini, publik menunggu konsistensi partai politik. Apakah akan melangkah tegas dengan mekanisme hukum yang sah, atau tetap berhenti pada istilah nonaktif yang ambigu.

Jika memilih jalur kedua, keputusan itu hanya akan terbaca sebagai simbol politik untuk meredam kegaduhan, bukan sebagai komitmen moral dan tanggung jawab kepada rakyat.(acank)

Example 120x600