ppmindonesia.com.Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali menjadi sorotan tajam setelah gelombang demonstrasi akhir Agustus 2025.
Teriakan massa yang memenuhi jalanan bukan lagi sekadar soal tunjangan DPR, tetapi mendesak negara segera mengesahkan regulasi yang sudah tertunda selama 17 tahun.
Sejak naskah awalnya disusun pada 2008, RUU ini berulang kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Namun, hingga kini belum juga dibahas tuntas.
Terakhir, RUU Perampasan Aset masuk daftar Prolegnas Prioritas 2023 dan diusulkan ke Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029. Meski demikian, pembahasan tidak berlanjut.
Dinamika Politik
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, menilai substansi RUU masih perlu pemutakhiran. Salah satunya terkait posisi hukum perampasan aset, apakah hanya untuk tindak pidana korupsi atau juga untuk pidana umum.
“Kalau pidana umum maka ini bisa melebar ke mana-mana dan bersinggungan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” kata politisi Partai Gerindra itu, awal Mei lalu.
Bob menegaskan DPR masih menunggu sinyal resmi dari Presiden Prabowo Subianto sebelum masuk ke tahap pembahasan. “Yang paling penting, publik harus tahu apakah perampasan aset ini diarahkan pada kerugian negara atau pada tindak pidana umum,” ujarnya.
Publik Kehilangan Kesabaran
Keterlambatan pembahasan membuat publik geram. Demonstrasi di sejumlah kota berujung anarkis. Rumah pejabat dirusak, barang mewah diangkut, hingga uang tunai dibagi-bagikan dengan simbolik: “ini duit rakyat”.
Secara hukum, tindakan tersebut jelas melanggar pidana. Namun secara politik, aksi itu dibaca sebagai bentuk parodi. Publik ingin menunjukkan betapa lambannya negara merespons kebutuhan hukum untuk mengembalikan aset yang dirampas koruptor.
Kerugian Negara Tak Tertagih
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, sepanjang 2023 terdapat 1.718 terdakwa korupsi dengan kerugian negara Rp56 triliun. Namun uang pengganti yang berhasil ditagih lewat putusan pengadilan hanya Rp7,3 triliun. Artinya, hanya sekitar 13 persen kerugian negara yang kembali.
Kasus korupsi proyek E-KTP menjadi contoh. Dari kerugian Rp2,3 triliun, negara hanya berhasil menagih sekitar Rp500 miliar. Tanpa regulasi perampasan aset, vonis pidana penjara tak cukup membuat negara pulih dari kerugian.
Belajar dari Negara Lain
Instrumen hukum serupa telah diterapkan di banyak negara dengan hasil signifikan. Inggris melalui Proceeds of Crime Act 2002 berhasil merampas ratusan juta poundsterling aset kejahatan.
Filipina mampu menarik kembali 624 juta dolar AS dari rekening rahasia Ferdinand Marcos di Swiss. Peru mengembalikan lebih dari 100 juta dolar AS aset hasil korupsi Vladimiro Montesinos hanya dalam tiga tahun.
Di Indonesia, instrumen hukum semacam ini juga menjadi amanat Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang diratifikasi sejak 2006. Namun, hingga kini, komitmen politik di DPR masih lemah.
Komitmen Presiden
Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset. Dalam pertemuan dengan tokoh masyarakat dan pimpinan partai di Istana Negara pada 1 September 2025, ia menegaskan pentingnya segera memiliki regulasi tersebut.
“Banyak koruptor tidak mau mengembalikan aset yang dicuri dari rakyat. Negara harus hadir,” ujar Prabowo.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memastikan naskah RUU sudah diterima DPR, tetapi belum menjelaskan detail perkembangan pembahasannya.
Ujian Kepercayaan Publik
Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, Anwar Hariyono, menilai lambannya pembahasan lebih disebabkan kurangnya good will dari pimpinan partai politik.
“Ini bukan lagi soal teknis legislasi, melainkan soal keberanian politik. Kalau terus ditunda, jangan heran kalau rakyat mengekspresikan kekecewaannya dengan cara yang lebih liar,” katanya.
RUU Perampasan Aset kini menjadi ujian serius bagi pemerintah dan DPR. Bukan semata soal memperbaiki citra lembaga negara, tetapi soal mengembalikan hak rakyat dan menjaga kepercayaan publik yang kian menipis.(acank)
 













 
							

 












