ppmindonesia.com.Jakarta – Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sudah lama menjadi bagian dari tradisi keagamaan umat Islam di Indonesia.
Uniknya, jejak sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari strategi dakwah Wali Songo pada abad ke-15. Melalui pendekatan budaya, para wali menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam perayaan yang kemudian dikenal sebagai Maulid Nabi.
Dari Syahadatain hingga Tradisi Jawa
Sejarawan mencatat, peringatan Maulid Nabi di Nusantara dikenal dengan istilah Syahadatain. Istilah ini muncul sekitar tahun 1404 M, saat Wali Songo memperkenalkan Islam kepada masyarakat Jawa.
Dengan memahami kecenderungan masyarakat yang gemar berkumpul dan merayakan tradisi, para wali mengganti muatan acara yang semula bernuansa lokal menjadi sarana dakwah Islam.
“Wali Songo melihat orang Jawa senang dengan kumpul-kumpul dan tradisi. Maka dengan semangat dakwah, mereka isi tradisi itu dengan nilai Islam, salah satunya Maulid Nabi,” jelas Dartim, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Grebeg Mulud di Kraton Mataram
Seiring perkembangan zaman, Maulid Nabi menjadi tradisi keraton di Jawa, khususnya Mataram Islam. Hingga kini, Keraton Yogyakarta dan Surakarta masih melestarikan perayaan Grebeg Mulud, yakni mengarak gunungan nasi dan hasil bumi.
Gunungan ini melambangkan syukur atas nikmat Allah SWT dan kemudian diperebutkan masyarakat sebagai berkah.
Tradisi Grebeg Mulud menunjukkan bagaimana Islam di Nusantara menyatu dengan budaya lokal. Ritual ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga bentuk dakwah simbolik yang menegaskan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Peran Dakwah Kultural
Dartim menekankan, perayaan Maulid Nabi di Indonesia bukan sekadar seremonial, tetapi sarana dakwah kultural. Melalui pengajian, pembacaan sirah Nabi, hingga shalawat bersama, masyarakat diarahkan untuk semakin mencintai Rasulullah SAW.
“Tidak ada larangan selama isinya membawa kemaslahatan, tidak merusak akidah, dan tidak diwarnai kemaksiatan. Justru Maulid bisa menjadi momentum dakwah yang efektif,” ujarnya.
Esensi Maulid: Meneladani Rasulullah
Alquran mengingatkan pentingnya meneladani Rasulullah SAW dalam kehidupan:
> لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْـَٔاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًۭا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat, dan yang banyak mengingat Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).
Ayat ini menegaskan bahwa esensi peringatan Maulid Nabi adalah meneladani akhlak Rasulullah dalam keseharian, bukan hanya berhenti pada acara perayaan.
Maulud di Indonesia
Jejak panjang Maulid Nabi di Indonesia, dari tradisi Syahadatain hingga Grebeg Mulud, menunjukkan bahwa dakwah Islam di Nusantara berjalan melalui jalur budaya. Tradisi ini bukan hanya bentuk ekspresi cinta umat kepada Nabi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan ajaran Islam dengan kearifan lokal.(emha)
 













 
							

 












