ppmindonesia.com. Jakarta — Gelombang unjuk rasa pada 25–31 Agustus kembali menyoroti praktik politik di Senayan. DPR RI merespons dengan langkah awal berupa pemangkasan tunjangan perumahan dan moratorium kunjungan kerja luar negeri.
Namun, publik menilai langkah tersebut belum cukup menjawab tuntutan yang jauh lebih luas.
Koalisi mahasiswa, buruh, masyarakat sipil, hingga sejumlah pesohor media sosial yang tergabung dalam Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah menyerahkan daftar tuntutan reformasi DPR dan pemerintahan, Kamis (4/9), di kompleks parlemen.
Mereka menuntut transparansi anggaran, pembersihan DPR dari praktik tidak etis, hingga percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset.
“Yang dibutuhkan bukan sekadar pemangkasan tunjangan, tetapi reformasi menyeluruh yang memulihkan kepercayaan rakyat pada DPR,” ujar salah seorang perwakilan, Fathia Izzati, usai menyerahkan dokumen tuntutan di Gerbang Pancasila DPR.
Langkah Awal Senayan
Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan seluruh fraksi sepakat menghentikan tunjangan perumahan anggota DPR dan menunda kunjungan kerja ke luar negeri. Keputusan ini diambil dalam rapat internal delapan fraksi di Senayan.
“Semua ketua fraksi sepakat untuk menghentikan tunjangan perumahan bagi anggota dan melakukan moratorium kunjungan kerja luar negeri,” kata Puan.
Namun, sejumlah agenda krusial, seperti desakan pengesahan RUU Perampasan Aset dan reformasi partai politik, tidak masuk dalam pembahasan.
Ketua Fraksi PKB Jazilul Fawaid menegaskan rapat baru sebatas membicarakan transformasi internal DPR. “Soal RUU Perampasan Aset, belum. Ini masih awalan,” ujarnya.
Tuntutan yang Menggunung
Dokumen tuntutan 17+8 memuat 17 poin jangka pendek dengan tenggat 5 September 2025 dan 8 poin jangka panjang dengan tenggat Agustus 2026. Isinya meliputi penghentian represivitas aparat, pembebasan demonstran yang ditahan, hingga reformasi struktural DPR dan partai politik.
Sejumlah influencer, seperti Jerome Polin, Andovi dan Jovial Da Lopez, Andhita F Utami, hingga Jeremy Owen, hadir langsung menyerahkan tuntutan itu. Mereka menyebut batas waktu penting untuk mengukur keseriusan DPR.
“Kalau tuntutan tidak dipenuhi, rakyat berhak menilai dan menentukan langkah selanjutnya,” kata Fathia.
Ujian Komitmen
Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan, Wiranto, menyebut Presiden Prabowo Subianto telah mendengar aspirasi masyarakat, tetapi tidak semua bisa dipenuhi sekaligus. “Kalau semua permintaan dipenuhi juga repot. Tentunya akan dipilah dan diputuskan oleh Presiden,” ujarnya.
Sementara itu, Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional menilai DPR kini berada di persimpangan penting. Sekretaris Jenderal PPM Nasional, Anwar Hariyono, menekankan bahwa langkah kosmetik tidak akan cukup meredakan keresahan publik.
“Rakyat menunggu reformasi nyata, bukan sekadar pencitraan. Transparansi anggaran, akuntabilitas anggota, dan keberanian membahas RUU strategis seperti Perampasan Aset adalah kunci. Jika DPR abai, jarak dengan rakyat akan semakin lebar,” ujarnya.
Dengan tunjangan yang mulai dipangkas, tetapi tuntutan publik terus menggunung, DPR menghadapi ujian besar: melangkah menuju reformasi sesungguhnya, atau kembali terjebak dalam siklus ketidakpercayaan rakyat.(acank)
 













 
							

 












