ppmindonesia.com.Jakarta– Banyak umat Islam meyakini bahwa menjadi seorang mukmin sejati berarti memikul beban yang berat dalam beragama.
Tak jarang, istilah “lebih baik” digunakan untuk membenarkan praktik tambahan yang sejatinya tidak pernah diwajibkan oleh Allah. Pada akhirnya, keyakinan itu justru membuat sebagian Muslim merasa bahwa agama sulit dijalankan secara utuh.
Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa Islam diturunkan sebagai agama yang sempurna dan mudah dijalankan. Allah berfirman:
مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat ini menegaskan bahwa syariat Islam tidak dimaksudkan untuk membebani, melainkan untuk memudahkan, menyucikan, dan menuntun manusia pada rasa syukur.
Kesempurnaan Agama
Dalam sejarah, banyak umat Islam mengira bahwa menjadi taat berarti menambah-nambahkan aturan atau kebiasaan tertentu yang mereka anggap “lebih baik.” Padahal Allah menegaskan kesempurnaan agama ini tanpa perlu tambahan dari manusia:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَـٰمَ دِينٗا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Kesempurnaan ini berarti bahwa ajaran Islam dapat dijalankan dalam kondisi apa pun, sesuai kultur dan tradisi masing-masing, selama tetap menjaga nilai kesopanan dan ketaatan kepada Allah.
Ketika “Lebih Baik” Jadi Beban
Fenomena yang sering terjadi ialah sebagian Muslim menilai praktik tertentu sebagai “lebih baik” meskipun tidak memiliki dasar dari Al-Qur’an.
Misalnya, menganggap bahwa berpakaian dengan gaya Arab lebih mulia daripada berpakaian sesuai budaya lokal yang tetap sopan. Atau menilai pakaian wanita harus dibuat setebal mungkin agar lebih afdhal, walau Al-Qur’an tidak pernah menetapkan standar semacam itu.
Sikap ini berbahaya karena menjerumuskan seseorang dalam lingkaran setan: agama terasa terlalu sulit, akhirnya mereka mengabaikan sebagian kewajiban lain dengan alasan tidak mampu. Padahal, Allah tidak pernah membebani manusia di luar batas kemampuannya.
Jalan Lurus: Berserah Diri Sepenuhnya
Al-Qur’an menyeru orang beriman untuk masuk ke dalam Islam secara total, bukan setengah-setengah atau dengan tambahan yang tidak diperintahkan:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَـٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, dia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketaatan sejati bukan terletak pada menambah-nambahkan aturan, melainkan pada menjalankan semua perintah Allah dengan penuh keikhlasan.
Menata Kembali Pemahaman
Seorang mukmin sejati adalah yang konsisten dengan pedoman Al-Qur’an. Ia tidak meremehkan ajaran Allah dengan ucapan “itu lebih baik, tapi tidak wajib,” lalu mengabaikannya. Ia juga tidak mempersulit diri dengan beban tambahan yang tidak Allah perintahkan.
Menjadi Muslim yang tulus berarti beragama sesuai dengan batas-batas yang Allah tetapkan: tidak mengurangi, tidak menambah. Justru dengan sikap inilah, seorang mukmin mendapatkan kemudahan, ketenangan, dan keteguhan dalam iman.
Islam adalah agama yang seimbang—syumul (menyeluruh) dan wasathiyah (moderat). Ketika umat menata kembali pemahamannya sesuai Al-Qur’an, maka agama tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan nikmat yang sempurna.(emha)
Referensi;
 













 
							

 












