Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ketika yang Wajib Dianggap Sunnah: Urgensi Furqan bagi Orang Bertakwa

5
×

Ketika yang Wajib Dianggap Sunnah: Urgensi Furqan bagi Orang Bertakwa

Share this article

Penulis: syahida | Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta  — Dalam satu sesi kajian-Qur’an bil Quran  yang mendalam dan menggugah, Husni Nasution melalui kanal Syahida mengangkat satu persoalan mendasar yang sering diabaikan oleh umat Islam: kekeliruan dalam memahami mana yang wajib dan mana yang sunnah, serta pentingnya Furqan—kemampuan membedakan kebenaran dan kebatilan—sebagai ciri orang bertakwa.

Di tengah gelombang pengajian, seminar keislaman, dan peningkatan gairah spiritual masyarakat, Husni justru mengajak jamaah untuk berhenti sejenak dan bertanya: 

Apakah ibadah dan amal yang selama ini dijalani benar-benar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh Allah? Ataukah justru yang wajib dianggap sunnah, dan yang sunnah diagung-agungkan melebihi perintah?

“Krisis umat hari ini bukan karena mereka tidak beribadah. Tapi karena mereka tidak tahu mana yang wajib dan mana yang sunnah. Tanpa Furqan, umat akan salah menempatkan prioritas dalam beragama,” tegas Husni.

Furqan, Kompas Kepatuhan dalam Beragama

Dalam Q.S. Al-Anfal: 29, Allah menjanjikan bahwa bagi orang-orang yang bertakwa, Dia akan memberikan Furqan—kemampuan untuk membedakan yang hak dan batil. Bagi Husni, inilah alat ukur utama yang seharusnya digunakan setiap Muslim dalam menimbang setiap ajaran agama.

Ia menyebutkan bahwa banyak umat menjalani ritual agama semata-mata berdasarkan kebiasaan dan pendapat ulama, bukan karena pemahaman langsung terhadap perintah Allah dalam Al-Qur’an. 

Bahkan, sebagian besar umat menyangka bahwa zakat atau infaq hanyalah ibadah sunah, padahal Allah menyatakannya sebagai bagian dari sistem sosial yang wajib ditegakkan (lihat: Q.S. At-Taubah: 60).

“Ketika zakat dianggap pilihan, padahal ia adalah sistem distribusi ekonomi dalam Islam, maka terjadi pembiaran terhadap ketimpangan sosial. Di sinilah fungsi Furqan diuji,” katanya.

Tradisi, Popularitas, dan Kesalahan Kolektif

Dalam kajian itu, Husni juga menyoroti kecenderungan umat untuk lebih mempercayai tradisi keagamaan yang populer, bahkan jika bertentangan dengan nash Al-Qur’an.

Ia mencontohkan bagaimana kisah Isra’ Mi’raj sering kali digunakan untuk menjustifikasi shalat sebagai hasil ‘tawar-menawar’, padahal Q.S. Al-Ahzab: 38 menegaskan bahwa ketetapan Allah tidak mungkin diubah.

“Kalau ada cerita bahwa shalat dari 50 kali ditawar jadi 5, itu artinya umat mengakui bahwa hukum Allah bisa dinegosiasikan. Ini sangat berbahaya, dan tidak sesuai dengan furqan,” ujarnya.

Kesalahan kolektif ini diperparah dengan pengkultusan otoritas tertentu yang kadang mengajarkan taklid buta.

Dalam suasana seperti ini, kata Husni, Furqan justru dibungkam—kemampuan kritis umat untuk mengembalikan segala perkara kepada Al-Qur’an dan Rasul tergantikan oleh sikap pasrah kepada simbol-simbol agama.

Menyusun Ulang Kepatuhan: Dari Takwa Menuju Furqan

Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai ayat, takwa adalah prasyarat untuk mendapatkan Furqan.

Maka, menurut Husni, langkah pertama untuk mengembalikan orientasi keagamaan yang benar adalah dengan menata ulang niat dan pemahaman: tidak lagi beragama karena ikut-ikutan, melainkan karena memahami kewajiban sebagai bentuk kesetiaan kepada wahyu.

Ia menekankan bahwa Furqan bukan hasil pendidikan tinggi atau titel keulamaan, melainkan karunia Allah kepada mereka yang ikhlas bertakwa.

Karena itu, setiap Muslim—baik yang awam maupun terdidik—punya peluang untuk memiliki Furqan jika bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran.

“Tanpa Furqan, umat Islam bisa rajin ibadah tapi tetap tersesat. Mereka bisa sibuk bershalawat, tapi melupakan zakat.

Bisa mengagungkan malam lailatul qadar, tapi mengabaikan keadilan sosial. Semua karena tak tahu mana yang wajib, mana yang hanya dianjurkan,” tegasnya.

Kembali pada Wahyu sebagai Jalan Lurus

Husni menutup kajiannya dengan seruan tegas: jangan biarkan agama dijalankan hanya berdasarkan cerita, mimpi, atau kepercayaan turun-temurun. Al-Qur’an, sebagai Furqan, harus menjadi alat ukur dalam segala urusan agama dan kehidupan.

Jika tidak, umat hanya akan terus mengulangi kesalahan sejarah: menganggap sunnah sebagai wajib, dan wajib sebagai sunah.(syahida)

*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur'an. Ia dikenal dengan konsep 'Nasionalisme Religius' yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial. 
Example 120x600