ppmindonesia.com.Jakarta, — Pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Dari pajak yang dibayarkan rakyat—melalui belanja harian, gaji bulanan, keuntungan usaha, hingga berbagai pungutan lainnya—kas negara terisi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat dijalankan.
Dari sanalah gaji, tunjangan, dan insentif presiden, menteri, DPR, hakim, polisi, jaksa, hingga aparatur sipil negara (ASN) dibayarkan.
Secara ideal, pemberian gaji itu berlandaskan filosofi sederhana: pejabat negara digaji untuk bekerja sungguh-sungguh demi rakyat.
Mereka diberi amanah untuk menyejahterakan, memakmurkan, melindungi, dan mengayomi masyarakat. Itulah esensi bernegara.
Namun, praktik di lapangan sering kali menghadirkan ironi.
Fungsi yang Melemah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), misalnya, semestinya menjadi pengawas ketat kebijakan pemerintah. Akan tetapi, ketika DPR berada dalam koalisi besar bersama pemerintah, fungsi pengawasan itu kerap melemah.
Berbagai kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat justru mendapat persetujuan tanpa kritik berarti. Dalam pandangan publik, DPR lebih tampak sebagai stempel daripada penjaga kepentingan rakyat.
Di ranah hukum, kritik serupa muncul. Masih banyak hakim yang dianggap menyalahgunakan kewenangan. Hukum seakan hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Rakyat kecil kerap kesulitan memperoleh keadilan, sementara kasus yang melibatkan kalangan berduit lebih mudah mendapat perhatian.
Aparat kepolisian juga tak luput dari sorotan. Laporan masyarakat yang tidak mengandung potensi keuntungan finansial sering kali terabaikan.
Ironi BUMN dan Beban Rakyat
Ironi lain terlihat di sektor ekonomi. Dari lebih dari seribu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hanya segelintir yang memberikan kontribusi besar pada negara. Sebagian besar justru mencatat kerugian.
Meski demikian, gaji komisaris dan direksi tetap besar. Publik mempertanyakan, untuk apa rakyat terus membayar pejabat yang mengelola perusahaan negara merugi?
Di saat yang sama, situasi rakyat kian berat. Pengangguran meningkat, pemutusan hubungan kerja (PHK) bertambah, dan daya beli masyarakat menurun. Banyak usaha kecil gulung tikar. Namun, gaji dan tunjangan pejabat negara justru terus naik.
Rencana Kementerian Keuangan menaikkan tarif pajak pada 2026 menambah keresahan. Target penerimaan negara yang ambisius dinilai berisiko semakin membebani masyarakat, terutama kelompok menengah bawah yang daya tahannya sudah menipis.
Menjaga Esensi
Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan mendasar: untuk apa rakyat terus membiayai pejabat, aparat, dan lembaga negara jika kehadiran mereka belum sepenuhnya dirasakan?
Esensi bernegara adalah menghadirkan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan bagi seluruh warga.
Negara ada karena rakyat, dan uang negara sejatinya adalah uang rakyat. Jika pajak yang dipungut tak berbanding lurus dengan manfaat yang dirasakan, kepercayaan publik bisa terkikis.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya soal anggaran atau gaji pejabat, melainkan legitimasi negara di mata rakyatnya.
Sebab, seperti diingatkan para ahli politik, marahnya rakyat adalah sesuatu yang tak mudah dibendung. (acank)