Scroll untuk baca artikel
BeritaPolitik

Ketika Kursi Kekuasaan Jadi Ladang Kekayaan

106
×

Ketika Kursi Kekuasaan Jadi Ladang Kekayaan

Share this article

Penulis : acank| Editor : asyary

ppmindonesia.com, Jakarta — Jabatan publik sejatinya adalah amanah untuk mengabdi pada rakyat. Namun, realitas di Indonesia justru memperlihatkan ironi: kursi kekuasaan kerap berubah menjadi jalan pintas untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dan keluarga.

Dalam beberapa tahun terakhir, publik disuguhi deretan kasus korupsi dengan nilai fantastis. Dana bantuan sosial (bansos) fiktif senilai lebih dari Rp6 triliun mencuat ke permukaan. Skandal Asabri merugikan negara Rp4 triliun lebih.

Korupsi di tubuh Pertamina bahkan ditaksir mencapai ratusan triliun. Belum lagi praktik tambang ilegal, tunjangan jumbo pejabat, serta kerugian ratusan BUMN yang nilainya tak kalah mencengangkan.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: mengapa jabatan yang seharusnya mulia justru menjadi ladang subur bagi praktik korupsi?

Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, Anwar Hariyoni, menilai persoalan terletak pada cara pandang terhadap kekuasaan. “Kekuasaan sering dipahami bukan sebagai mandat, melainkan sebagai privilese. Dari sinilah korupsi sistemik tumbuh,” ujarnya kepada ppmindonesia, Sabtu (13/9/2025).

Sementara itu, di tingkat akar rumput, rakyat justru merasakan beban yang kian berat. Harga beras naik tajam, daya beli melemah, dan angka pengangguran tetap tinggi.

Di tengah kesulitan itu, pejabat menikmati fasilitas negara yang serba lengkap: rumah dinas, kendaraan mewah, hingga tunjangan berlapis.

“Ini ketidakadilan yang mencolok. Pemerintah berbicara soal kesejahteraan, tetapi realitas di lapangan rakyat semakin terhimpit,” kata aktivis PPM, Depri Cane Nasution, dalam keterangannya kepada ppmindonesia.

Kontras antara retorika pejabat dan kenyataan di masyarakat semakin memperlebar jurang kepercayaan publik. Pidato-pidato optimistis tentang pertumbuhan ekonomi terdengar manis, tetapi sering dianggap sekadar narasi tanpa bukti nyata.

Sejarah bangsa mengingatkan, jabatan publik adalah pengorbanan, bukan privilese. Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, dan para pendiri bangsa rela menanggung derita demi tegaknya republik. Kini, kursi kekuasaan seakan kehilangan ruh perjuangan itu, digantikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok.

Masyarakat menanti langkah nyata. Bukan sekadar janji manis, melainkan reformasi serius untuk membersihkan birokrasi dari praktik korupsi. Sebab, bila kursi kekuasaan terus diperlakukan sebagai ladang kekayaan, maka rakyatlah yang akan terus membayar harga paling mahal: kemiskinan yang tak kunjung usai.(acank)

Example 120x600