ppmindonesia.com.Jakarta – Hanya dalam waktu 48 jam, Nepal mengalami perubahan politik yang begitu fundamental.
Pergantian perdana menteri, presiden, hingga menteri keuangan berlangsung secepat kilat, dipicu oleh gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipelopori anak-anak muda. Generasi Z Nepal—yang menyebut diri mereka the owner of the future—mengambil alih arah sejarah bangsanya.
Yang menarik, proses penentuan perdana menteri dilakukan melalui sistem digital yang diinisiasi para anak muda. Pilihan mereka jatuh pada seorang perempuan tua, mantan Ketua Mahkamah Agung, yang dinilai berintegritas dan jujur.
Generasi Z menunjukkan bahwa orientasi politik mereka bukan sekadar subjektif atau populis, melainkan berpijak pada nilai kejujuran, pengalaman, dan integritas.
Namun di balik kisah inspiratif itu, Nepal juga memperlihatkan sisi kelam dari politik yang busuk. Kerusuhan merebak, gedung parlemen terbakar, rumah-rumah politisi dihancurkan massa, hingga korban jiwa mencapai puluhan orang. Elit-elit politik, dari perdana menteri hingga ketua partai, jadi sasaran kemarahan rakyat.
Nepo Kids dan Amarah Generasi Z
Sumbu utama ledakan kemarahan publik justru datang dari media sosial. Unggahan gaya hidup mewah anak-anak politisi—disebut NepoKids—membandingkan jurang antara kemewahan elit dan penderitaan rakyat.
Mobil mewah, tas desainer, hingga liburan ke luar negeri, dipamerkan di TikTok dan Instagram, sementara rakyat Nepal menghadapi pengangguran, inflasi, dan krisis pangan.
Nama-nama seperti Shrinkhala Khatiwada, mantan Miss Nepal sekaligus putri seorang mantan menteri; Shivana Shrestha, penyanyi populer menantu mantan perdana menteri; hingga Smita Dahal, cucu pemimpin Partai Komunis, menjadi simbol privilese yang menyulut amarah rakyat. Rumah-rumah mereka pun ikut jadi sasaran amuk massa.
Kemarahan ini menegaskan jurang sosial dan politik yang selama ini tertutup oleh retorika demokrasi.
Menurut laporan Transparency International, Nepal memang konsisten masuk jajaran negara terkorup di Asia. Dugaan penggelapan jutaan dolar dalam pembangunan Bandara Internasional Pokhara hanya satu dari banyak kasus yang jarang berujung pada penuntutan.
Pelajaran untuk Indonesia
Apa yang terjadi di Nepal menjadi alarm yang seharusnya juga menyentak kita di Indonesia. Dua dekade lebih setelah reformasi 1998, bangsa ini masih bergulat dengan masalah serupa: oligarki politik, privilese anak pejabat, dan kebijakan yang sering lebih berpihak pada elit ketimbang rakyat.
Reformasi politik kita macet di tengah jalan. Anak-anak muda Indonesia, yang dulu jadi penggerak reformasi, terpecah belah dan kehilangan arah. Ruang kosong itu diisi kembali oleh generasi lama yang mempertahankan status quo. Hasilnya, demokrasi stagnan dan korupsi masih merajalela.
Nepal menunjukkan bahwa generasi muda bisa menjadi pelopor sekaligus penentu arah bangsa. Tetapi, mereka juga bisa menjadi motor kemarahan sosial yang meledak ketika jurang keadilan terlalu lebar.
Indonesia hari ini membutuhkan kepemimpinan yang mampu menangkap sinyal zaman itu. Presiden Prabowo, misalnya, menghadapi tantangan besar: apakah akan sungguh-sungguh melakukan transformasi politik, demokrasi, dan pemberantasan korupsi? Atau membiarkan status quo semakin mengakar?
Momentum yang Tidak Boleh Disia-siakan
Ada dua kekuatan dominan yang bisa menyelamatkan negeri ini dari stagnasi politik: eksekutif yang dipimpin presiden, dan legislatif yang dikuasai partai-partai politik. Tanpa konsensus dua institusi ini, transformasi hanya akan menjadi jargon.
Evaluasi menyeluruh terhadap undang-undang yang tidak adil, dari UU kepolisian, pembagian keuangan pusat-daerah, hingga UU cipta kerja, adalah langkah mendesak.
Membatasi fasilitas mewah pejabat publik pun menjadi simbol keadilan yang bisa memulihkan kepercayaan rakyat.
Nepal adalah cermin sekaligus peringatan. Jika jurang sosial dan politik terus dibiarkan, perubahan bisa datang bukan lewat mekanisme demokrasi yang teratur, melainkan ledakan sosial yang tak terkendali.
Pada akhirnya, demokrasi hanya akan bertahan jika ia berpihak kepada rakyat, bukan kepada segelintir elit.
Tugas sejarah Indonesia kini adalah memastikan bahwa reformasi yang pernah diperjuangkan dengan darah dan air mata tidak berhenti di tengah jalan, melainkan benar-benar menyejahterakan seluruh rakyat. (acank)