ppmindonesia.com. Bogor — Perintah Allah dalam QS Al-Ahzab [33]:56 “Innallāha wa malāikatahu yushallūna ‘alan-nabī, yā ayyuhalladzīna āmanū shallū ‘alaihi wasallimū taslīma” sering dimaknai sebagai anjuran untuk membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Namun, kajian Qur’an bil Qur’an di kanal Syahida oleh Husni Nasution menyingkap makna yang lebih mendalam: shalawat sejati terwujud dengan mengikuti nur — ruh dari perintah Allah — yang diturunkan bersama Rasulullah.
Rasulullah dalam Kitab-Kitab Sebelumnya
Husni menegaskan, makna shalawat dapat ditelusuri dalam QS Al-A‘raf [7]:157. Ayat itu menyingkap bahwa Nabi al-Ummi sudah disebut dalam Taurat dan Injil sebagai pembawa risalah yang membebaskan manusia dari beban.
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ… فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang mereka dapati tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil… Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakan, menolongnya, serta mengikuti cahaya (nur) yang diturunkan bersamanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-A‘raf [7]:157)
Menurut Husni, mengikuti Rasul berarti mengikuti nur yang menyertai risalahnya, yakni Al-Qur’an sebagai cahaya petunjuk hidup.
Nur sebagai Ruh dari Perintah Allah
Makna nur dijelaskan dalam QS Asy-Syura [42]:52.
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَـٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apa itu Kitab dan tidak pula iman, tetapi Kami jadikan ia cahaya (nur), yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus.” (QS Asy-Syura [42]:52)
“Nur itu adalah ruhan min amrina — ruh dari perintah Allah. Hakikatnya adalah wahyu yang menuntun manusia menuju jalan lurus,” jelas Husni Nasution.
Burhān dan Nūrān Mubīna
Al-Qur’an menegaskan bahwa nur tersebut adalah bukti nyata dan cahaya yang terang:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُم بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُّبِينًا
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu, dan Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (QS An-Nisa [4]:174)
Lapang Dada dan Kesadaran Merdeka
Allah menggambarkan orang yang benar-benar hidup dalam nur itu sebagai orang yang dadanya dilapangkan untuk Islam.
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ
“Maka apakah orang yang Allah lapangkan dadanya untuk Islam lalu ia berada di atas cahaya dari Tuhannya…” (QS Az-Zumar [39]:22)
Lebih lanjut, QS Al-Jinn [72]:14 menegaskan bahwa orang yang aslama (menyerahkan diri pada Allah) adalah mereka yang meraih kemerdekaan kesadaran (taharru rasyada).
Hadis tentang Shalawat
Husni menambahkan, sabda Nabi juga menegaskan pentingnya shalawat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR Muslim)
Namun, menurutnya, hadis ini harus dipahami dalam bingkai Al-Qur’an: shalawat bukan hanya lafaz, tetapi juga wujud nyata mengikuti nur yang dibawa Nabi.
Shalawat sebagai Jalan Mengikuti Wahyu
Dengan demikian, perintah “shallū ‘alaihi wasallimū taslīma” bermakna ganda: penghormatan kepada Rasulullah ﷺ melalui doa, dan yang lebih utama, ketaatan pada cahaya wahyu yang beliau bawa.
“Orang yang bershalawat sejati adalah orang yang hidup dengan nur wahyu. Mereka memuliakan Rasulullah dengan iman, menolong beliau dengan amal, dan menapaki jalan hidup yang ditunjuki Al-Qur’an,” pungkas Husni.(syahida)
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.