Scroll untuk baca artikel
ArtikelHikmah

Pencerahan atau Ego? Tafsir Al-Qur’an dalam Gempuran Zaman

121
×

Pencerahan atau Ego? Tafsir Al-Qur’an dalam Gempuran Zaman

Share this article

Penulis: emha| Editor; asyary|

ppmindonesia.com.Jakarta – Di era digital, tafsir Al-Qur’an tidak lagi hanya lahir dari mimbar masjid atau ruang kuliah perguruan tinggi Islam. Media sosial, kanal YouTube, hingga podcast kini menjadi ruang baru bagi lahirnya penafsiran, sekaligus perdebatan. 

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah tafsir hari ini membawa pencerahan, atau sekadar ego individu dalam membungkus pandangan pribadi?

Salah satu suara kritis hadir dari kanal Qur’an – Islam, di mana A Mohamed menekankan pentingnya kembali kepada pesan universal kitab suci, dengan membaca Al-Qur’an secara utuh dan kritis.

Gelombang Tafsir di Dunia Digital

Menurut A Mohamed, era digital membuka ruang partisipasi publik dalam menafsirkan Al-Qur’an. Namun, keterbukaan ini juga mengandung risiko. Banyak penafsiran yang lebih didorong oleh emosi, identitas, bahkan ego personal, bukan semata pencarian kebenaran.

“Al-Qur’an mengingatkan agar manusia tidak menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan,” ujar Mohamed, sembari mengutip firman Allah:

 أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَـٰهَهُ هَوَاهُ ۚ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu?” (QS Al-Jatsiyah [45]: 23).

Ayat ini, jelas Mohamed, menjadi peringatan keras agar tafsir tidak jatuh dalam jebakan kepentingan personal.

Tradisi Kritis dalam Tafsir

Sejarah Islam merekam bagaimana tafsir selalu berkembang sesuai konteks zaman. Para ulama klasik seperti Al-Tabari, Al-Razi, dan Ibn Kathir menafsirkan Al-Qur’an dengan perangkat ilmu di zamannya. Demikian pula mufasir kontemporer seperti Fazlur Rahman atau Muhammad Asad yang menghadirkan tafsir lebih kontekstual.

Mohamed mengingatkan, tradisi kritis itu harus dilanjutkan, bukan dimatikan. “Membaca Al-Qur’an di era digital bukan berarti menafsir seenaknya, melainkan menjaga agar pesan keadilan, rahmat, dan tauhid tetap hidup,” ujarnya.

Poligami dan Jilbab di Era Digital

Dua isu paling ramai diperdebatkan dalam ruang digital Islam adalah poligami dan jilbab.

Tentang poligami, Al-Qur’an menyebut:

 فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ فَوَٰحِدَةً

“Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.” (QS An-Nisa [4]: 3).

Mohamed menekankan bahwa ayat ini sering dipahami sepotong-sepotong. Padahal, syarat utama poligami adalah keadilan, yang oleh Al-Qur’an sendiri dinyatakan hampir mustahil:

وَلَن تَسْتَطِيعُوٓا۟ أَن تَعْدِلُوا۟ بَيْنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS An-Nisa [4]: 129).

“Artinya, poligami lebih merupakan pintu darurat sosial ketimbang perintah agama yang mutlak,” jelasnya.

Sementara tentang jilbab, perdebatan kerap terjebak pada panjang kain dan model pakaian. Padahal, ayat Al-Qur’an lebih menekankan aspek moral dan sosial.

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka.” (QS An-Nur [24]: 31).

Menurut Mohamed, konteks utama ayat ini adalah perlindungan martabat dan keselamatan perempuan di ruang publik.

 “Namun, di era digital, jilbab lebih sering diperdebatkan sebagai simbol identitas, bahkan komoditas fesyen, ketimbang pesan etis yang terkandung di dalamnya,” katanya.

Pencerahan atau Ego?

Fenomena tafsir di era digital kini berada di persimpangan. Di satu sisi, ia membuka peluang lahirnya pencerahan baru yang relevan dengan konteks zaman. Di sisi lain, ia rentan diperalat untuk mengokohkan ego, baik individu maupun kelompok.

Mohamed mengingatkan pesan Al-Qur’an:

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا وَلَا تَفَرَّقُوا۟

“Berpeganglah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS Ali Imran [3]: 103).

“Tafsir seharusnya menjadi jalan menuju persatuan dan pencerahan, bukan arena adu ego,” pungkasnya.(emha)

Example 120x600