ppmindonesia.com.Jakarta – Kanal Quran- Islam kembali menghadirkan diskusi mendalam yang memantik perhatian publik. Dalam kajian terbaru bersama narasumber A Mohamed, dua isu klasik yang selalu mengemuka dalam wacana tafsir Al-Qur’an dibedah ulang: poligami dan jilbab.
Pertanyaannya, apakah keduanya merupakan warisan tradisi yang ditafsirkan secara kaku, ataukah sebenarnya membawa pesan moral yang lebih luas dalam Al-Qur’an?
Poligami: Antara Kebolehan dan Keadilan
Poligami kerap dijadikan polemik, baik di kalangan umat Islam sendiri maupun dalam pandangan masyarakat luas. Ayat yang paling sering dirujuk adalah Surah An-Nisa ayat 3:
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَٰحِدَةً
“Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS An-Nisa [4]: 3)
A Mohamed menekankan bahwa konteks ayat ini sering diabaikan. “Poligami diizinkan dalam situasi sosial tertentu, seperti pasca-perang di mana banyak janda dan anak yatim yang terlantar. Namun, syarat utamanya adalah keadilan, dan Al-Qur’an menegaskan bahwa keadilan itu hampir mustahil dicapai.”
Hal ini diperkuat oleh ayat berikutnya:
وَلَن تَسْتَطِيعُوٓا۟ أَن تَعْدِلُوا۟ بَيْنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istri, walaupun kamu sangat ingin (berbuat demikian).” (QS An-Nisa [4]: 129)
Dalam pandangan tokoh pemikir Islam kontemporer, Fazlur Rahman, poligami bukan perintah normatif, melainkan izin terbatas dengan syarat ketat. “Al-Qur’an sebenarnya sedang mengarahkan manusia menuju monogami,” tulisnya.
Jilbab: Simbol Kesopanan atau Norma Kultural?
Isu jilbab juga tidak kalah hangat. Ayat yang menjadi dasar adalah Surah An-Nur ayat 31:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya, dan jangan menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (QS An-Nur [24]: 31)
Selain itu, Surah Al-Ahzab ayat 59 juga sering dirujuk:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٟجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan perempuan-perempuan mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al-Ahzab [33]: 59)
A Mohamed berpendapat, ayat ini lebih menekankan pada perlindungan dan identitas sosial perempuan Muslim di tengah masyarakat Arab kala itu. “Jilbab tidak semata-mata busana, melainkan simbol moral dan sosial. Sayangnya, tafsir klasik lebih sering menekankan bentuk fisik ketimbang substansi moralnya.”
Cendekiawan Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan menyebut bahwa tafsir tentang jilbab perlu dibaca ulang dengan mempertimbangkan konteks sejarah dan budaya. “Al-Qur’an membawa nilai kesopanan dan martabat, bukan seragam tunggal yang kaku.”
Antara Tradisi dan Pesan Moral
Diskusi ini mengingatkan kembali pada ketegangan antara warisan tradisi dan pesan moral Al-Qur’an. Banyak ulama klasik menafsirkan poligami dan jilbab dalam kerangka normatif-hukum. Namun, gelombang penafsir baru menyoroti dimensi moral dan sosial yang lebih luas.
“Perdebatan ini tidak untuk menegasikan tradisi, melainkan untuk memastikan bahwa pesan Al-Qur’an tetap relevan dan tidak terjebak dalam formalitas belaka,” kata A Mohamed menutup kajian.
Pada akhirnya, baik poligami maupun jilbab, ketika dibaca dalam semangat keadilan, kesopanan, dan kemanusiaan, akan membawa umat kembali kepada nilai inti Al-Qur’an: rahmat bagi seluruh alam. (emha)
 













 
							

 












