Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Bahasa, Simbol, dan Wahyu: Mengurai Pesan Al-Qur’an dalam Realitas Manusia

98
×

Bahasa, Simbol, dan Wahyu: Mengurai Pesan Al-Qur’an dalam Realitas Manusia

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.co. Jakarta — Dalam sebuah kajian yang mengundang perhatian banyak kalangan, Buya Syakur Yasin ulama asal Indramayu: menyoroti peran bahasa dan simbol dalam memahami pesan Al-Qur’an. Menurutnya, wahyu ilahi diturunkan dalam bahasa manusia, karena hanya melalui medium bahasa, pesan transenden dapat masuk ke dalam kesadaran dan realitas kehidupan umat.

“Bahasa itu hanyalah simbol. Ia tidak pernah bisa memuat hakikat yang tak terbatas. Al-Qur’an hadir dengan bahasa Arab agar manusia bisa mengakses pesan Allah. Tapi jangan pernah terjebak pada simbol semata, karena hakikatnya jauh lebih luas,” ujar Buya Syakur .

Bahasa sebagai Jembatan Wahyu

Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa bahasa adalah sarana komunikasi universal. Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 22:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦ خَلۡقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفُ أَلۡسِنَتِكُمۡ وَأَلۡوَٰنِكُمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّلۡعَٰلِمِينَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, serta berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS Ar-Rum [30]: 22).

Buya Syakur menegaskan bahwa keberagaman bahasa adalah bagian dari sunnatullah. Bahasa menjadi instrumen manusia untuk mengartikulasikan pengalaman, sekaligus menangkap pesan wahyu. Namun, bahasa tetap terbatas, sementara hakikat Tuhan tidak terbatas.

Simbol dan Makna

Konsep ini berakar pada kesadaran bahwa bahasa bukanlah realitas itu sendiri, melainkan representasi simbolik. “Kata ‘air’ bukanlah air itu sendiri. Begitu juga, kata-kata dalam Al-Qur’an adalah simbol yang menunjuk pada makna yang lebih dalam. Tugas kita adalah mengupas simbol itu agar sampai pada hakikat,” jelas Buya Syakur.

Pandangan ini mengingatkan pada pemikiran Al-Farabi, filsuf Muslim klasik, yang menekankan bahwa wahyu menggunakan bahasa dan imajinasi agar manusia awam mampu mengakses kebenaran yang tinggi. Sementara bagi kalangan arif, simbol itu perlu ditafsirkan untuk menemukan dimensi batiniah wahyu.

Al-Qur’an sebagai Petunjuk

Al-Qur’an sendiri menegaskan fungsinya bukan sekadar bacaan ritual, melainkan petunjuk hidup. Allah berfirman:

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 2).

Menurut Buya Syakur, petunjuk itu bisa dipahami jika pembacanya menyadari keterbatasan bahasa sebagai simbol. Membaca Al-Qur’an bukan sekadar melafalkan huruf, tetapi menangkap spirit ilahiah yang terkandung di balik simbol bahasa.

Bahasa dan Realitas Manusia

Dalam perspektif Buya Syakur, manusia hidup dalam realitas simbolik: bahasa, budaya, dan tanda-tanda. Wahyu turun ke tengah realitas ini agar dapat dipahami. Karenanya, keberagaman bahasa dan simbol dalam kehidupan manusia justru memperkaya cara memahami pesan Al-Qur’an.

Pemikir Muslim kontemporer, Mohammed Arkoun, menegaskan bahwa Al-Qur’an harus dibaca dengan kesadaran bahwa ia diturunkan dalam konteks historis, namun maknanya terus hidup melampaui ruang dan waktu. Bahasa, dalam hal ini, adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir.

Pluralitas Bahasa dan Simbol 

Buya Syakur menutup kajiannya dengan menekankan pentingnya kerendahan hati dalam membaca wahyu. “Jangan terjebak pada huruf, tapi juga jangan meninggalkan huruf. Huruf adalah jalan menuju makna. Bahasa adalah simbol menuju hakikat. Al-Qur’an hadir untuk membimbing kita, bukan untuk dibekukan dalam simbol,” tuturnya.

Dengan kesadaran ini, pluralitas bahasa dan simbol dapat dipahami bukan sebagai sekat, melainkan sebagai jembatan untuk mendekatkan manusia pada pesan universal Al-Qur’an: rahmat bagi seluruh alam.(emha)

 

Example 120x600