ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah derasnya arus digital, lahir generasi baru penafsir Al-Qur’an yang berusaha melepaskan diri dari monopoli tafsir klasik. Fenomena ini menjadi topik hangat dalam kajian Kanal Quran – Islam A Mohamed, yang mengulas dinamika tafsir Al-Qur’an di era media sosial dan internet.
“Internet telah membuka ruang bagi siapa pun untuk bersuara. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Banyak yang tulus mencari kebenaran, tetapi tidak sedikit yang menjadikan tafsir sebagai jalan popularitas,” ujar A Mohamed dalam diskusi tersebut.
Al-Qur’an Itu Mudah Dipahami
Salah satu kritik terhadap ulama tradisional adalah klaim bahwa Al-Qur’an terlalu sulit dipahami tanpa bimbingan mereka. Namun, A Mohamed menegaskan, Al-Qur’an sendiri menyatakan sebaliknya.
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَـٰهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Maka sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu agar mereka dapat mengambil pelajaran.” (QS Ad-Dukhan [44]: 58)
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ
“Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Kitab yang jelas.” (QS Yusuf [12]: 1)
Menurut A Mohamed, ayat-ayat ini menegaskan keterbukaan Al-Qur’an bagi siapa pun yang mendekatinya dengan hati bersih. “Problemnya bukan pada teks, tetapi pada cara manusia mendekatinya—apakah dengan kerendahan hati atau dengan ego,” katanya.
Dari Otoritas Lama ke Tafsir Populis
Sejarah panjang Islam mencatat dominasi ulama dalam menguasai tafsir. Namun, era digital memunculkan tafsir “populis”, yang lahir dari beragam kanal YouTube, blog pribadi, hingga media sosial.
Fenomena ini, kata A Mohamed, ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia membebaskan tafsir dari dominasi yang kaku. Di sisi lain, ia membuka ruang bagi tafsir instan yang minim metodologi.
Pemikir Islam kontemporer, Fazlur Rahman, pernah menegaskan bahwa tafsir haruslah selalu bersifat dinamis. “Al-Qur’an adalah sumber moral yang hidup. Ia harus dipahami dalam konteks yang terus berubah, bukan dibekukan oleh tradisi semata,” tulisnya dalam Islam and Modernity.
Tafsir yang Bertabrakan dengan Hadis
Salah satu isu paling kontroversial adalah hubungan antara Al-Qur’an dan hadis. Menurut A Mohamed, banyak tafsir klasik justru membebek pada hadis yang ditulis ratusan tahun setelah wafatnya Nabi. Padahal, tidak jarang hadis-hadis tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl [16]: 89)
Ayat ini, kata A Mohamed, menegaskan bahwa Al-Qur’an cukup sebagai pedoman utama, tanpa memerlukan otoritas tambahan.
Antara Pencerahan dan Ego
Gelombang baru penafsir memang membuka jalan pencerahan. Banyak isu-isu yang selama ini tabu kini dibedah ulang, termasuk soal poligami, jilbab, bahkan otoritas hadis. Namun, di sisi lain, muncul pula mereka yang menafsirkan demi sensasi.
“Gelombang ini harus dipilah. Tafsir yang tulus akan membawa umat pada pencerahan, sementara tafsir yang lahir dari ego justru menyesatkan,” tegas A Mohamed.
Cendekiawan Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, dalam banyak karyanya juga mengingatkan, “Teks suci selalu terbuka pada interpretasi, tetapi tanggung jawab moral penafsir adalah menjaga agar tafsir tetap berpijak pada keadilan dan kemanusiaan.”
Membaca Ulang dengan Kesadaran Baru
Era digital memang tidak bisa dihindari. Namun, bagi umat Islam, ia bisa menjadi momentum emas untuk membaca ulang Al-Qur’an dengan kesadaran baru: bahwa kitab suci ini diturunkan untuk menjadi pedoman hidup yang relevan di setiap zaman.
Pada akhirnya, pertarungan tafsir di era digital bukan sekadar soal metodologi, melainkan juga soal niat. Apakah kita menafsirkan Al-Qur’an demi mencari cahaya pencerahan, atau sekadar memuaskan ego pribadi? (acank)
 













 
							

 












