ppmindonesia.com.Jakarta — Ketaatan merupakan inti dari ajaran Islam. Namun, pertanyaan penting muncul: kepada siapa ketaatan itu diberikan, dan dengan ukuran apa?
Dalam Al-Qur’an, ketaatan selalu ditautkan pada dua entitas: Allah dan Rasul-Nya. Meski demikian, ketaatan kepada Rasul tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu selaras dengan wahyu Al-Qur’an.
Al-Qur’an menegaskan:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” (QS. An-Nisa [4]: 80)
Ayat ini menempatkan Rasulullah SAW sebagai penyampai wahyu. Dengan kata lain, menaati Rasul berarti menaati Al-Qur’an yang beliau bawa.
Al-Qur’an sebagai Tolak Ukur Utama
Islam tidak mengajarkan ketaatan buta. Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai standar dan tolok ukur segala ajaran. Firman-Nya:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl [16]: 89)
Ayat ini menegaskan bahwa semua ajaran yang diklaim berasal dari Islam harus dikembalikan pada Al-Qur’an. Bila ada riwayat atau tradisi yang bertentangan dengan Al-Qur’an, maka riwayat itu tidak mungkin berasal dari Rasulullah SAW.
Rasul Tidak Mungkin Menyalahi Wahyu
Al-Qur’an bahkan mengingatkan, seandainya Nabi Muhammad SAW mengada-adakan ajaran yang tidak sesuai dengan wahyu, Allah sendiri akan menegur keras.
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ  لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ  ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat nadinya.” (QS. Al-Haqqah [69]: 44-46)
Ayat ini adalah jaminan ilahi bahwa Rasul tidak akan pernah menyampaikan sesuatu yang berlawanan dengan Al-Qur’an. Maka, setiap ajaran yang bertentangan dengan kitab suci ini patut dikritisi.
Pandangan Para Cendekiawan
Cendekiawan Muslim kontemporer, Prof. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah menulis: “Segala ajaran yang dibawa Rasulullah SAW berakar pada Al-Qur’an. Karena itu, tidak ada ruang bagi ajaran yang bertentangan dengan kitab suci untuk dihubungkan kepada beliau.”
Senada dengan itu, tokoh reformis Mesir, Muhammad Abduh, menegaskan: “Jika ada hadis yang bertentangan secara jelas dengan Al-Qur’an, maka itu bukan dari Rasulullah. Tidak boleh seorang pun mendahulukan sesuatu atas firman Allah.”
Ketaatan yang Berbasis Pengetahuan
Ketaatan dalam Islam bukan sekadar kepatuhan formal, melainkan sikap sadar yang didasari pemahaman terhadap wahyu. Allah menegaskan:
اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf [7]: 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa ukuran ketaatan seorang Muslim adalah komitmennya untuk menegakkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan, bukan mengikuti otoritas yang mengajarkan sesuatu di luar batas wahyu.
Hakikat Ketaatan
Hakikat ketaatan dalam Islam adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah keluar dari wahyu itu. Karena itu, setiap klaim ajaran Islam yang bertentangan dengan Al-Qur’an perlu ditinjau ulang dengan kritis.
Sebagaimana disampaikan oleh cendekiawan Pakistan, Fazlur Rahman, “The Qur’an is the supreme source of guidance, and the Prophet is its embodiment. To obey the Prophet is nothing other than to obey the Qur’an.”
Dengan demikian, ketaatan sejati hanya bisa terwujud bila Al-Qur’an dijadikan ukuran segala ajaran, serta diterapkan secara konsisten dalam kehidupan pribadi maupun sosial. (emha)
 













 
							

 












