ppmindonesia.com. Jakarta – Salah satu perintah yang paling sering diulang dalam Al-Qur’an adalah seruan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, makna “ketaatan” ini sering disalahpahami.
Tidak jarang, sebagian umat menjadikan ayat tentang ketaatan sebagai legitimasi untuk tunduk kepada otoritas manusia atau tradisi tertentu, padahal Al-Qur’an menegaskan bahwa ketaatan sejati hanya berlaku kepada Allah dan wahyu yang disampaikan Rasul-Nya.
Kajian Qur’an bil Qur’an yang disampaikan oleh Husni Nasution di Kanal Syahida pekan ini mengangkat tema penting tersebut, dengan menyoroti bagaimana Al-Qur’an menautkan ketaatan kepada Rasul sepenuhnya pada ketaatan kepada Allah.
Ketaatan yang Tidak Terpisah
Dalam surah An-Nisā’ ayat 80, Allah menegaskan hubungan langsung antara ketaatan kepada Rasul dan ketaatan kepada Allah:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.”(QS. An-Nisā’ [4]: 80)
Menurut Husni Nasution, ayat ini mengandung pesan fundamental bahwa Rasul tidak memiliki otoritas mandiri di luar kehendak Allah. “Rasul bukan sumber hukum, tetapi penyampai hukum Allah. Maka, menaati Rasul berarti menaati wahyu yang beliau bawa, bukan pribadi beliau setelah wafat,” jelasnya.
Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjelaskan sifat kerasulan Nabi Muhammad ﷺ:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى • إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.”
(QS. An-Najm [53]: 3–4)
“Rasulullah tidak berbicara atas dasar keinginan pribadi. Maka, setiap bentuk ketaatan kepada beliau harus selalu dikembalikan kepada sumbernya — yaitu wahyu,” kata Husni Nasution.
Mengembalikan Segala Perselisihan kepada Wahyu
Salah satu ayat yang menjadi fondasi dalam konsep ketaatan adalah firman Allah dalam surah An-Nisā’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul…”(QS. An-Nisā’ [4]: 59)
Husni menekankan bahwa dalam ayat ini, kata “taatilah” tidak diulang di depan ulil amri, yang menandakan bahwa ketaatan kepada pemimpin bersifat bersyarat — selama mereka juga menaati Allah dan Rasul. “Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan Rasul, dan itu pun dalam kerangka wahyu. Segala sesuatu yang diperselisihkan harus dikembalikan kepada Al-Qur’an,” ujarnya.
Ketaatan yang Bersumber dari Wahyu
Menurut tafsir Al-Mishbah, Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ketaatan kepada Rasul bukanlah bentuk pengkultusan pribadi, melainkan ketaatan kepada ajaran yang beliau sampaikan. “Nabi tidak memiliki kehendak pribadi dalam hal risalah; beliau hanya menyampaikan apa yang diwahyukan kepadanya,” tulis Quraish Shihab.
Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar:
“Ketaatan kepada Rasulullah bukanlah ketaatan kepada orangnya, melainkan kepada risalah yang beliau bawa. Bila risalah itu ditinggalkan, maka ketaatan itu tidak sahih.”
Dengan demikian, perintah untuk taat kepada Rasul harus dipahami sebagai kewajiban untuk mengikuti Al-Qur’an yang dibawanya, bukan sekadar mengikuti pendapat ulama, tradisi, atau hadis yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an.
Menghindari Ketaatan Buta
Dalam banyak kasus, umat Islam terjebak dalam bentuk ketaatan yang buta — mengikuti otoritas keagamaan tanpa menguji kesesuaiannya dengan Al-Qur’an. Padahal, Al-Qur’an telah memperingatkan tentang bahaya mengikuti nenek moyang atau pemimpin tanpa ilmu.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?”
(QS. Al-Baqarah [2]: 170)
Husni Nasution menegaskan, “Ayat ini mengingatkan kita agar tidak menukar ketaatan kepada wahyu dengan ketaatan kepada tradisi. Dalam Islam, ukuran kebenaran bukan senioritas atau popularitas, melainkan kesesuaian dengan petunjuk Allah.”
Ketaatan yang Membebaskan
Ketaatan kepada Allah dan Rasul sejatinya adalah bentuk pembebasan manusia dari ketaatan kepada sesama manusia. Ia bukan ketaatan yang menindas, melainkan ketaatan yang memerdekakan akal dan jiwa.
Husni menutup kajian dengan mengutip firman Allah SWT:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap keputusanmu dan menerima dengan sepenuhnya.”(QS. An-Nisā’ [4]: 65)
“Menjadikan Nabi sebagai hakim berarti menempatkan Al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi dalam segala persoalan,” ujar Husni. “Itulah hakikat ketaatan yang sejati — tunduk hanya kepada petunjuk Allah yang dibawa Rasul-Nya, bukan kepada tafsir manusia yang bisa salah.”
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur'an. Ia dikenal dengan konsep 'Nasionalisme Religius' yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.



























