ppmindonesia.com.Jakarta – Di ruang-ruang diskusi dunia maya, kita kerap menjumpai perdebatan sengit soal penyebutan nama Tuhan. Ada yang merasa tersinggung ketika seseorang menyebut Sang Pencipta dengan kata “Tuhan” alih-alih “Allah”. Bagi sebagian orang, “Allah” dianggap nama eksklusif bagi umat Islam, seakan-akan berbeda dengan Tuhan yang disembah umat lain.
Padahal, kenyataannya jauh lebih luas. Kata Allah adalah bahasa Arab untuk “Tuhan” dan telah digunakan sejak jauh sebelum Islam datang. Orang Yahudi dan Kristen Arab pun menyebut Sang Pencipta dengan kata yang sama. Dengan demikian, Allah bukanlah “tuhan baru” milik umat Islam, melainkan sebutan bahasa Arab untuk Tuhan semesta alam.
Dari Ilāh menjadi Allah
Para ulama bahasa menjelaskan bahwa kata Allah berasal dari bentuk umum ilāh (إِلٰه) yang berarti “tuhan”. Ketika ditambah awalan al- (definitif), terbentuklah al-ilāh (ٱلإِلٰه) yang berarti “Sang Tuhan”. Karena lidah Arab lebih mudah melafalkan dengan singkatan, sebutan itu kemudian menyatu menjadi Allah (الله).
Ibn Manzur dalam Lisaan al-‘Arab menegaskan perubahan fonetik ini wajar dalam struktur bahasa Arab. Maka, Allah adalah kata Arab untuk menunjuk Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana bahasa lain menyebut-Nya dengan istilah berbeda.
Al-Qur’an menegaskan:
وَإِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌۭ وَٰحِدٌۭ ۖ لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحْمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)
Ayat ini menutup ruang eksklusivitas. Kata Allah bukan nama bagi satu kelompok umat, melainkan penegasan bahwa Tuhan itu satu, Esa, dan universal.
Kesinambungan Risalah
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Allah yang disembah Nabi Muhammad ﷺ adalah Tuhan yang sama yang disembah para nabi sebelumnya.
وَمَآ أُرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.’” (QS. Al-Anbiya [21]: 25)
Dengan demikian, universalitas Islam justru tampak dalam kesinambungan risalah. Nama boleh berbeda—God dalam bahasa Inggris, Dieu dalam bahasa Prancis, atau Allah dalam bahasa Arab—tetapi yang dimaksud tetap satu: Tuhan semesta alam.
Nama untuk Manusia, Bukan untuk Tuhan
Menariknya, Al-Qur’an menunjukkan bahwa nama adalah kebutuhan manusia, bukan kebutuhan Tuhan. Nama hanyalah cara manusia untuk memanggil, mengingat, dan mendekat kepada-Nya.
قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا۟ ٱلرَّحْمَـٰنَ ۖ أَيًّۭا مَّا تَدْعُوا۟ فَلَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ
“Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu menyeru, Dia mempunyai al-Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Isra [17]: 110)
Ayat ini memberi ruang kelapangan. Yang terpenting bukanlah perbedaan istilah, melainkan keyakinan bahwa Tuhan itu Esa dan tidak bersekutu.
Allah atau Tuhan
Kesalahpahaman soal penyebutan “Allah” atau “Tuhan” sering lahir dari bias linguistik. Islam tidak pernah menutup universalitas Allah hanya pada satu bahasa. Justru Al-Qur’an menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan milik eksklusif satu umat.
Maka, menyebut-Nya dengan kata yang berbeda sesuai bahasa bukanlah persoalan, sebab yang dituju tetap satu: Dia Yang Maha Esa, Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang.(acank)
 













 
							

 












