ppmindonesia.com.Jakarta — Seandainya kita lahir di tanah yang berbeda, dari keluarga dengan keyakinan lain, mungkinkah kita akan tetap memeluk agama yang sama seperti hari ini? Pertanyaan sederhana ini sering luput dari perenungan umat beragama.
Kita tidak pernah memilih untuk lahir sebagai Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, atau penganut kepercayaan lainnya. Kita hanya membuka mata, lalu lingkunganlah yang menentukan identitas spiritual kita.
Sayangnya, banyak di antara kita yang kemudian membela mati-matian apa yang tidak pernah kita pilih sendiri. Sejak kecil kita dibentuk oleh doktrin bahwa agama kitalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, sementara yang lain tersesat.
Pandangan seperti ini, jika tidak diimbangi dengan kebijaksanaan, dapat melahirkan kesombongan keagamaan — merasa paling benar, dan dengan mudah menilai orang lain salah.
Padahal, Allah telah mengingatkan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak-Nya. Dalam Surah Al-Hujurāt ayat 13, Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurāt [49]: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan suku, bangsa, dan keyakinan bukanlah alasan untuk saling menjauh, melainkan sarana untuk saling mengenal dan menghormati. Rumi pernah menulis dengan indah, “Kebenaran adalah cermin di tangan Tuhan.
Ia jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu dan mengira telah memiliki kebenaran secara utuh.”
Itulah hakikat keberagaman — tidak ada seorang pun yang menggenggam seluruh kebenaran. Setiap agama membawa pantulan cahaya Ilahi yang berbeda. Tugas manusia bukanlah untuk memonopoli cahaya itu, melainkan untuk menyalakan kemanusiaan di tengah keberagaman.
Sayangnya, sebagian dari kita justru terjebak pada ego sektarian. Menganggap kelompoknya paling benar, paling suci, dan paling layak masuk surga. Padahal Allah sendiri berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 62:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 62)
Ayat ini memberi pesan bahwa keselamatan bukan milik satu label agama, melainkan bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan berbuat kebaikan.
Maka, ketika kita mengklaim bahwa hanya kitalah yang benar, sejatinya kita sedang mengingkari keluasan rahmat Tuhan. Sebab, Tuhan yang Maha Kuasa itulah yang menciptakan manusia dengan perbedaan jalan dan keyakinan. Ia pula yang berhak menilai siapa yang benar dan siapa yang sesat — bukan kita.
Allah menegaskan dalam Surah Al-Mā’idah ayat 48:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 48)
Ayat ini adalah penegasan ilahi bahwa pluralitas adalah kehendak Tuhan, bukan kesalahan manusia. Maka, seharusnya yang kita perlombakan bukanlah klaim kebenaran, melainkan kebaikan.
Kebenaran yang dipecah menjadi kepingan seharusnya tidak membuat kita saling melukai. Justru dari kepingan itulah, kita bisa saling melengkapi dan memantulkan cahaya Tuhan dengan cara yang berbeda. Karena pada akhirnya, hanya Allah-lah pemilik kebenaran yang utuh, dan manusia hanyalah pencari-Nya.
Kita tidak perlu menjadi sama untuk hidup damai. Kita hanya perlu cukup rendah hati untuk menyadari bahwa Tuhan yang kita sembah adalah satu, meski jalan menuju-Nya berbeda.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (QS. An-Nahl [16]: 116)
Ketika manusia berhenti merasa paling benar, di situlah cahaya kebenaran sejati akan tampak — bukan dalam bentuk dogma, tetapi dalam wujud kasih, toleransi, dan kebijaksanaan.
Karena kebenaran sejati bukan untuk dipecah-pecah, melainkan untuk dipantulkan dalam kehidupan. (acank)
 













 
							

 












