Misi Kerasulan yang Universal
هُوَ الَّذِيْۤ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik membencinya.”
(QS At-Taubah [9]: 33)
ppmindonesia.com.Jakarta – Ayat ini merupakan deklarasi agung tentang misi kerasulan Nabi Muhammad ﷺ. Allah mengutus Rasul-Nya dengan dua bekal utama: al-hudā (petunjuk) dan ad-dīn al-ḥaqq (agama yang benar). Dua bekal inilah yang menjadi sumber pencerahan bagi umat manusia, agar sistem kehidupan mereka kembali sejalan dengan kehendak Ilahi.
Ungkapan “liyuzhhirahu ‘alad-dīni kullihi” berarti menegakkan atau memenangkan agama yang benar di atas semua sistem kehidupan—baik agama buatan manusia, ideologi, maupun tatanan sosial yang menyimpang dari kebenaran.
 Kemenangan itu bukan sekadar dominasi politik atau simbolik, melainkan tegaknya nilai-nilai tauhid, keadilan, dan rahmat dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Menghadapi Kebencian Kaum Musyrik
Allah menyadarkan Rasulullah dan para pengikutnya bahwa perjuangan menegakkan ad-Din pasti menghadapi kebencian dari kaum musyrik.
“…walau orang-orang musyrik membencinya.”
Kebencian ini adalah bentuk perlawanan terhadap kebenaran, karena agama yang benar akan membongkar sistem batil yang mereka bangun. Kaum musyrik tidak hanya menyembah berhala secara fisik, tetapi juga mempertuhankan hawa nafsu, kekuasaan, dan kepentingan duniawi.
Al-Qur’an mendefinisikan kaum musyrik sebagai mereka yang memecah kesatuan agama dan membentuk golongan-golongan yang saling berbangga dengan ajarannya sendiri:
مُنِيْبِيْنَ اِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ (٣١) مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“(Tetaplah) kembali kepada-Nya, bertakwalah kepada-Nya, dan dirikanlah shalat. Janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, (yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan menjadi beberapa golongan; tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada mereka.”(QS Ar-Rūm [30]: 31–32)
Musyrik dalam ayat ini bukan semata bentuk penyembahan kepada berhala, melainkan segala bentuk perpecahan dalam agama yang menjauhkan manusia dari kebenaran tunggal milik Allah. Tafarruq (perpecahan) adalah wajah baru kemusyrikan: ketika agama dijadikan alat perpecahan, bukan jalan persatuan.
Larangan Menjadi Bagian dari Perpecahan
Allah memperingatkan umat Islam agar tidak terseret dalam tafarruq, sebab perpecahan dalam agama adalah bentuk penyelewengan dari shirāṭullāh, jalan Allah yang lurus:
اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi beberapa golongan, engkau (Muhammad) tidak ada hubungan sedikit pun dengan mereka. Urusan mereka hanyalah kepada Allah, kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS Al-An‘ām [6]: 159)
Tafarruq muncul ketika manusia tidak lagi berpegang pada satu jalan Ilahi, tetapi mengikuti berbagai jalan (subul) buatan mereka sendiri. Padahal Allah telah menetapkan satu jalan yang lurus:
وَأَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena akan memecah-belah kamu dari jalan-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.”
(QS Al-An‘ām [6]: 153)
Ayat ini adalah penegasan bahwa kebenaran hanya satu, tetapi jalan menuju kebatilan banyak. Karena itu, menegakkan ad-Din berarti menjaga kesatuan umat dalam satu komitmen terhadap petunjuk Allah.
Ad-Din sebagai Fitrah Ilahi
Islam sebagai ad-dīn al-ḥaqq adalah agama yang selaras dengan kodrat manusia. Ia bukan sistem buatan manusia, tetapi fithratullah—sistem kehidupan yang sesuai dengan penciptaan manusia itu sendiri.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus; (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS Ar-Rūm [30]: 30)
Agama yang benar selalu mengajak manusia kembali kepada keseimbangan, kejujuran, dan kebaikan yang merupakan bagian dari fithrahnya. Ketika sistem kehidupan menjauh dari nilai-nilai fitrah ini, maka di situlah muncul kekacauan sosial, moral, dan spiritual.
Mengapa Dinul Haqq Dibenci?
Kebencian terhadap dinul haqq tidak lain karena agama yang benar selalu mengoreksi kesalahan dan membongkar kepalsuan.
 Sistem yang dibangun atas dasar hawa nafsu dan kepentingan tidak akan nyaman ketika kebenaran datang menantangnya.
 Mereka takut terhadap tatanan yang diatur berdasarkan keadilan Ilahi, karena hal itu akan menghapus privilese, keserakahan, dan ketidakadilan yang mereka pelihara.
Namun, bagi orang beriman, kebencian itu tidak boleh melemahkan semangat menegakkan agama. Sebab, keimanan yang sejati tidak cukup diucapkan di lisan; ia menuntut kepatuhan total kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusanmu dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya.”
(QS An-Nisā’ [4]: 65)
Ayat ini menegaskan bahwa iman sejati hanya terwujud bila seluruh keputusan hidup tunduk pada petunjuk Rasulullah ﷺ, yang membawa agama dan petunjuk dari Allah.
Menegakkan Ad-Din di Atas Segalanya
QS 9:33 bukan sekadar pernyataan teologis, tetapi misi peradaban Islam.
 Menegakkan ad-Din di atas segalanya berarti menegakkan nilai-nilai Ilahi di atas sistem kehidupan dunia: menjadikan tauhid sebagai asas moral, keadilan sebagai pilar sosial, dan rahmat sebagai ruh kemanusiaan.
Kebencian kaum musyrik bukanlah tanda kegagalan, melainkan ujian keteguhan. Karena kemenangan sejati bukanlah ketika Islam hanya diakui secara formal, tetapi ketika nilai-nilainya menyatu dalam nadi kehidupan umat manusia.
Menegakkan ad-Din berarti mengembalikan seluruh kehidupan kepada Allah—menyembah-Nya secara total, dan menjadikan setiap aspek kehidupan sebagai manifestasi dari kalimat lā ilāha illallāh.
“Dan Dialah Allah yang mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan atas segala agama, walau orang-orang musyrik membencinya.”
(QS At-Taubah [9]: 33)
Misi Kerasulan
Misi kerasulan tidak berhenti di masa lalu. Ia terus hidup dalam diri umat yang berkomitmen menegakkan ad-dīn al-ḥaqq di tengah dunia yang kian terpecah.
 Kebencian kaum musyrik hanyalah ujian, tetapi kebenaran Ilahi pasti tegak — karena agama yang benar bukanlah buatan manusia, melainkan sistem kehidupan yang diciptakan oleh Allah untuk manusia. (syahida)
*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur’an. Ia dikenal dengan konsep ‘Nasionalisme Religius’ yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial.
			
		 













 
							

 












