ppmindonesia.com.Jakarta – Hilirisasi menjadi salah satu agenda besar pembangunan ekonomi Indonesia dalam satu dekade terakhir. Pemerintah gencar mendorong agar sumber daya alam tidak lagi diekspor mentah, melainkan diolah di dalam negeri untuk memberi nilai tambah ekonomi.
Namun di tengah gegap gempita industrialisasi nasional, muncul satu pertanyaan penting: sejauh mana rakyat kecil, terutama petani, menjadi bagian dari proses itu?
Dalam berbagai forum kebijakan, istilah “hilirisasi berbasis rakyat” mulai mencuat sebagai alternatif yang lebih inklusif. Gagasannya sederhana: pembangunan industri tidak boleh hanya terfokus pada sektor besar dan investor asing, tetapi harus memberi ruang bagi petani, koperasi desa, dan usaha mikro di hulu rantai produksi.
Dari Sawah ke Pabrik, dari Desa ke Dunia
Menurut Direktur Institut Peranserta Masyarakat (IPAMA), Guntoro Soewarno, hilirisasi rakyat bukan sekadar jargon. “Kita ingin agar petani tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah, tetapi juga pelaku ekonomi yang menikmati nilai tambah dari hasil panennya sendiri,” keteranganya pada ppmindonesia, (10/10/2025).
Guntoro mencontohkan, jika petani kelapa sawit mampu memiliki unit mini refinery sendiri, atau kelompok petani padi dapat mengelola penggilingan dan pengemasan modern secara kolektif, maka kesejahteraan mereka akan meningkat signifikan. “Kuncinya adalah keterlibatan komunitas. Teknologi dan pasar bisa datang kemudian, tapi semangat kemandirian harus tumbuh dari bawah,” tambahnya.
Dari Ekspor Mentah ke Produk Bernilai Tambah
Selama ini, pola ekonomi nasional masih cenderung bersandar pada ekspor bahan mentah. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, sekitar 60 persen ekspor sektor pertanian masih dalam bentuk bahan mentah atau setengah jadi. Akibatnya, nilai tukar petani kerap stagnan dan kesejahteraan di pedesaan tidak banyak berubah.
Program hilirisasi berbasis rakyat diharapkan menjadi solusi. Dengan mengintegrasikan produksi, pengolahan, hingga pemasaran di tingkat desa, nilai ekonomi bisa berlipat. Contohnya, pengolahan singkong menjadi tepung mocaf, atau kopi menjadi produk kemasan siap ekspor.
Eko Suryono Ketua Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional , menilai konsep hilirisasi rakyat sejalan dengan paradigma shared prosperity. “Kita perlu menggeser paradigma industrialisasi agar tidak eksklusif. Negara harus memastikan keberpihakan pada pelaku ekonomi terkecil, karena dari sanalah ketahanan pangan dan sosial berasal,” ujarnya.
Membangun Ekosistem Produksi yang Adil
Namun, gagasan besar ini tidak mudah diwujudkan. Tantangan utama adalah keterbatasan akses modal, teknologi, dan pasar bagi petani serta koperasi desa. Selain itu, regulasi investasi dan industri kerap berpihak pada skala besar.
Karena itu, hilirisasi berbasis rakyat memerlukan kebijakan lintas sektor—dari perbankan, pertanian, hingga pendidikan vokasi—agar petani tidak lagi menjadi penonton dalam ekonomi modern. Pendekatan partisipatif dan pembentukan ekosistem produksi lokal menjadi syarat mutlak.
“Negara harus hadir untuk menyiapkan jembatan antara ekonomi rakyat dan industri nasional,” kata Guntoro menegaskan.
Jalan Tengah Pembangunan
Hilirisasi berbasis rakyat bukan sekadar strategi ekonomi, melainkan upaya menata ulang arah pembangunan agar lebih berkeadilan. Ketika desa mampu mengolah hasil bumi sendiri dan mendapatkan nilai tambah yang layak, maka kedaulatan ekonomi bangsa akan tumbuh dari akar rumput.
Dalam konteks itu, hilirisasi rakyat menjadi jalan tengah: memperkuat ekonomi nasional tanpa mengorbankan kesejahteraan petani—menyatukan kepentingan industri dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kemandirian desa.(emha)
 













 
							

 












