Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Kebenaran Bukan Milik Satu Golongan

60
×

Kebenaran Bukan Milik Satu Golongan

Share this article

Penulis: emha| Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta — Di dunia yang semakin terbuka, perbedaan pandangan adalah keniscayaan. Namun ironisnya, dalam hal agama, sebagian orang justru merasa paling benar sendiri.

Mereka menilai bahwa hanya kelompoknya yang akan selamat, sementara yang lain sesat. Padahal, jika kita jujur menengok sejarah dan ayat-ayat Al-Qur’an, kebenaran sejati tidak pernah dimonopoli oleh satu golongan.https://ppmindonesia.com/index.php/2025/10/11/kebenaran-bukan-milik-satu-golongan/

Klaim kebenaran tunggal inilah yang sering kali menjadi sumber perpecahan di tengah umat. Masing-masing mengangkat panji kebenarannya sendiri, menganggap dirinya pewaris tunggal wahyu, lalu menuduh yang lain keliru. Sementara itu, nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan keadilan yang menjadi inti dari ajaran agama justru terlupakan.

Allah ﷻ menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 62 bahwa keselamatan dan pahala tidak bergantung pada label agama semata, melainkan pada keimanan dan amal kebajikan:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapat pahala dari Tuhannya; tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 62)

Ayat ini adalah penegasan yang indah dan tegas: bahwa Allah menilai manusia bukan dari identitas lahiriah atau golongannya, melainkan dari keikhlasan iman dan amal salehnya.

Namun, dalam perjalanan sejarah, manusia sering terjebak pada simbol-simbol. Identitas kelompok dianggap sebagai tanda kebenaran, sementara yang berbeda dicurigai. Padahal, Allah telah menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah bagian dari kehendak-Nya, bukan sesuatu yang harus diperdebatkan.

Dalam Surah Al-Mā’idah ayat 48, Allah berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 48)

Ayat ini memperlihatkan dengan jelas: pluralitas dan perbedaan jalan hidup adalah bagian dari ujian Tuhan, bukan alasan untuk saling meniadakan. Allah tidak menuntut manusia untuk seragam, tapi untuk berlomba dalam kebaikan.

Sayangnya, di tengah masyarakat, kebaikan justru sering dikalahkan oleh ego golongan. Dalam ruang publik, termasuk media sosial, kita dengan mudah menemukan ujaran yang menghakimi. Mereka yang berbeda cara beribadah atau berpikir segera dicap sesat, liberal, atau kafir. Padahal, Allah telah melarang manusia menjadi hakim atas iman orang lain.

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَىٰ

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‘ām [6]: 117)

Ayat ini adalah pengingat keras bagi setiap orang beriman: bahwa hak menilai kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Kita hanya diminta untuk mencari kebenaran, bukan mengklaimnya.

Dalam konteks keindonesiaan, semangat ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa ini berdiri di atas keberagaman, dan setiap warga negara berhak meyakini, menjalankan, dan menafsirkan ajaran agamanya tanpa dipaksa atau direndahkan.

Ketika agama dijadikan alat untuk mengungguli atau menindas yang lain, saat itulah agama kehilangan ruhnya. Karena sejatinya, agama hadir untuk menuntun manusia menuju kasih sayang dan keadilan, bukan untuk menumbuhkan kebencian.

Rasulullah ﷺ sendiri tidak datang untuk membentuk kelompok eksklusif, melainkan untuk menyempurnakan akhlak. Beliau bersabda:

“Innamā bu‘itstu liutammima makārim al-akhlaq”“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Ahmad)

Maka, ukuran keberagamaan seseorang bukan pada seberapa keras ia membela kelompoknya, melainkan seberapa besar ia menebar kasih dan keadilan.

Kebenaran sejati tidak akan pernah lahir dari sikap merasa paling benar. Ia justru tumbuh dari kerendahan hati untuk mendengarkan, belajar, dan menghargai sesama pencari kebenaran.

Dan mungkin, seperti kata Jalaluddin Rumi, “Kebenaran adalah cermin di tangan Tuhan. Ia jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut satu kepingan dan mengira telah memegang kebenaran sepenuhnya.”

Mungkin itulah tugas kita: bukan untuk memonopoli kebenaran, tapi untuk bersama-sama menyusun kembali cermin yang pecah itu — dengan cinta, kebijaksanaan, dan rasa saling menghormati.

Sebab kebenaran bukan milik satu golongan, tapi milik Tuhan yang Maha Mengetahui segalanya. (emha)

Example 120x600