Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ketaatan Hakiki: Mengikuti Allah dan Rasul-Nya dengan Menegakkan Al-Qur’an

81
×

Ketaatan Hakiki: Mengikuti Allah dan Rasul-Nya dengan Menegakkan Al-Qur’an

Share this article

Penulis: syahida| Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam Al-Qur’an, seruan Taatilah Allah dan Rasul-Nya” merupakan perintah yang berulang dan fundamental. Namun, pemahaman atas seruan ini kerap bergeser menjadi bentuk ketaatan buta kepada otoritas atau tradisi, bukan kepada risalah yang dibawa Rasul.

Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam kajian Qur’an bil Qur’an oleh Husni Nasution di kanal Syahida, ketaatan hakiki hanya dapat diwujudkan dengan menegakkan Al-Qur’an sebagai sumber utama segala ajaran dan hukum Islam.

“Allah dan Rasul-Nya adalah satu entitas kehendak dalam konteks risalah. Apa yang datang dari Rasul adalah apa yang diwahyukan Allah kepadanya,” ujar Husni dalam pengantarnya. “Maka, menaati Rasul berarti menaati wahyu yang beliau sampaikan — bukan pendapat pribadi, bukan pula tradisi umat setelahnya.”

Allah dan Rasul: Satu Kesatuan dalam Risalah

Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menautkan Allah dan Rasul dalam satu kesatuan makna. Misalnya, dalam surah An-Nisā’ ayat 80:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi penjaga bagi mereka.” (QS. An-Nisā’ [4]: 80)

Ayat ini, menurut Husni, menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul bukanlah ketaatan kepada pribadi manusia, tetapi kepada wahyu yang dibawanya. “Rasul tidak punya kehendak sendiri dalam menyampaikan agama. Ia adalah penyampai risalah, bukan pembuat hukum di luar wahyu,” jelasnya.

Al-Qur’an sendiri menegaskan sifat kenabian Muhammad ﷺ dalam surah An-Najm ayat 3–4:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ • إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm [53]: 3–4)

“Dengan ayat ini, Al-Qur’an menutup ruang bagi klaim bahwa Rasul berbicara di luar wahyu dalam hal risalah. Maka, menaati Rasul identik dengan menaati Al-Qur’an,” ujar Husni.

Ketaatan yang Bermakna: Mengembalikan Segala Urusan kepada Wahyu

Dalam surah An-Nisā’ ayat 59, Allah kembali menegaskan prinsip dasar ketaatan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir.”
(QS. An-Nisā’ [4]: 59)

Menariknya, kata “taatilah” diulang dua kali — untuk Allah dan Rasul — namun tidak untuk ulil amri. Menurut Husni, ini menandakan bahwa ketaatan kepada pemimpin bersifat bersyarat: selama mereka juga menaati Allah dan Rasul. “Segala bentuk ketaatan yang tidak merujuk kepada Al-Qur’an adalah ketaatan semu, bukan ketaatan iman,” tegasnya.

Mengkritisi Ketaatan Buta

Sayangnya, dalam praktik keagamaan, umat sering kali terjebak pada bentuk ketaatan buta kepada tokoh, mazhab, atau tradisi. Padahal, Al-Qur’an secara tegas mengingatkan tentang bahaya mengikuti pendapat tanpa dasar wahyu.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak mendapat petunjuk?”
(QS. Al-Baqarah [2]: 170)

“Ini adalah peringatan keras agar umat tidak menjadikan tradisi, kitab tafsir, atau hadis yang bertentangan dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum,” jelas Husni.

Dalam tafsir Al-Mishbah, Prof. M. Quraish Shihab juga menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah ketaatan kepada ajaran yang beliau bawa. “Rasul tidak membawa hukum yang terpisah dari Al-Qur’an. Maka, siapa pun yang taat kepada Rasul, sejatinya ia taat kepada Al-Qur’an,” tulisnya.

Buya Hamka pun menulis dalam Tafsir Al-Azhar:

“Ketaatan kepada Rasulullah bukan berarti pengkultusan pribadi. Rasulullah adalah penyampai, bukan pencipta hukum. Jika yang disampaikan itu diabaikan, maka ketaatan tidak memiliki makna.”

Al-Qur’an sebagai Ukuran Segala Ajaran

Husni Nasution menegaskan, cara untuk menaati Rasul dengan benar adalah dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai ukuran segala ajaran. “Jika ada hadis atau pendapat ulama yang bertentangan dengan Al-Qur’an, maka ukuran kebenaran tetaplah Al-Qur’an,” ujarnya.

Pandangan ini didasarkan pada firman Allah:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Naḥl [16]: 89)

“Dengan demikian,” lanjutnya, “ketaatan yang hakiki bukan hanya ucapan atau formalitas. Ia adalah kesetiaan kepada nilai-nilai Al-Qur’an — keadilan, kasih sayang, dan tauhid — dalam seluruh aspek kehidupan.”

Ketaatan yang Membebaskan, Bukan Menindas

Ketaatan kepada Allah dan Rasul adalah ketaatan yang membebaskan manusia dari perbudakan terhadap sesama manusia. Ia membebaskan akal dari taklid buta dan membangkitkan kesadaran moral yang sejati.

Husni menutup kajiannya dengan mengutip firman Allah:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap keputusanmu dan menerima dengan sepenuhnya.”(QS. An-Nisā’ [4]: 65)

“Menjadikan Nabi sebagai hakim berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman tertinggi dalam segala keputusan,” ujarnya. “Di situlah letak ketaatan hakiki — tunduk kepada wahyu, bukan kepada hawa nafsu atau tradisi manusia.” (syahida)

*Husni Nasution, alumnus IAIN Sumatera Utara dari Bogor, dikenal sebagai pemikir kebangsaan dan pengkaji Al-Qur'an. Ia dikenal dengan konsep 'Nasionalisme Religius' yang mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, serta perhatian besar terhadap solidaritas sosial. 
Example 120x600