ppmindonesia,com Jakarta, – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menghadapi tantangan berat tahun 2024 dalam penyelenggaraan haji, terutama soal pembagian kuota reguler, khusus, dan tambahan. Isu “pengalihan kuota” ramai dibahas publik, dan untuk itu Kemenag memberikan penjelasan resmi mengenai dasar teknis dan regulasi yang melandasi kebijakan tersebut.
Kuota Dasar dan Tambahan: Angka Resmi
Pada 2024, Indonesia mendapatkan kuota dasar 221.000 jamaah haji dari Kerajaan Arab Saudi. (haji.kemenag.go.id) Berdasarkan regulasi, porsi kuota haji khusus adalah 8 persen dari kuota nasional, sedangkan sisanya dialokasikan ke jalur reguler. (haji.kemenag.go.id)
Namun rapat Panitia Kerja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) DPR RI dan Kemenag kemudian menyepakati adanya kuota tambahan 20.000 jamaah di luar kuota dasar. (haji.kemenag.go.id) Pemerintah Arab Saudi menyetujui kuota tambahan itu pada 8 Januari 2024 dan dituangkan ke dalam nota kesepahaman (MoU) antara kedua negara. (haji.kemenag.go.id)
Dengan tambahan tersebut, total kuota haji Indonesia tahun 2024 menjadi 241.000 jamaah, terdiri dari 213.320 jamaah reguler dan 27.680 jamaah haji khusus. (Kemenag)
Alokasi Tambahan dan Pertimbangan Zonasi Mina
Pembagian kuota tambahan 20.000 menjadi 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk khusus bukan tanpa perhitungan. Menurut Kemenag, keputusan ini muncul setelah serangkaian simulasi teknis dalam konteks kebijakan baru Saudi yakni zonasi di Mina. (haji.kemenag.go.id)
Saudi membagi wilayah Mina menjadi lima zona menurut jarak ke Jamarat (tempat pelemparan jumrah). Zona yang lebih dekat ke Jamarat memiliki biaya pelayanan lebih tinggi. Kemenag menyatakan bahwa berdasarkan perhitungan, jalur reguler hanya realistis ditempatkan di zona 3 dan 4 dengan anggaran yang ada. (haji.kemenag.go.id)
Apabila kuota tambahan dialokasikan di zona 1–2, biaya akan melonjak sehingga tidak dapat ditanggung dalam skema reguler yang disubsidi BPKH. (haji.kemenag.go.id)
Secara teknis, kapasitas tambahan di zona 3–4 diperkirakan hanya sekitar 10.000 jamaah. Keputusan alokasi 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk khusus adalah kompromi agar kuota tambahan bisa dioptimalkan tanpa memaksakan kapasitas yang berisiko. (haji.kemenag.go.id)
Kontroversi dan Tanggapan DPR
Langkah pembagian 50:50 kuota tambahan memicu kritik dari DPR. Beberapa anggota Komisi VIII menyebut bahwa pembagian tersebut menyimpang dari ketentuan hukum kuota haji khusus (8%) dan dianggap “pengalihan kuota reguler ke haji khusus / ONH Plus.” (detikcom)
DPR mempersoalkan bahwa alokasi 10.000 untuk haji khusus dianggap melanggar kesepakatan awal dalam rapat Panja BPIH. Ada juga tudingan bahwa sebagian kuota khusus ditempati oleh kuota “plus/furoda”. (detikcom)
Kemenag membantah tudingan ini. Menurut Dirjen PHU, keputusan ini sudah melalui kajian teknis dan dituangkan dalam MoU sehingga bukan “jual beli kuota” melainkan penyesuaian dalam kerangka diplomasi dan regulasi. (haji.kemenag.go.id)
Isu Penegakan Hukum: Dugaan Uang Percepatan
Selain kontroversi teknis, kasus ini juga dikaitkan dengan penyelidikan KPK. Ada dugaan oknum memanfaatkan kuota tambahan 2024 untuk “uang percepatan” ke jamaah yang ingin mempercepat keberangkatan tanpa antre. (detiknews)
KPK menyebut bahwa alokasi kuota tambahan 20.000 itu telah merugikan jamaah reguler—sekitar 8.400 orang—yang seharusnya mendapatkan kuota berdasarkan antrean lama. Dugaan kerugian negara awal disebut mencapai Rp 1 triliun. (detiknews)
KPK juga telah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap beberapa pihak, termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, dalam penyidikan kasus ini. (detiknews)
Simpulan: Keputusan yang Sulit dalam Konteks Teknis dan Diplomat
Keputusan pembagian kuota reguler dan khusus, serta kuota tambahan 2024, berada di persimpangan antara diplomasi internasional, regulasi nasional, dan keterbatasan teknis lapangan. Meski kebijakan ini menimbulkan kontroversi politik dan penyelidikan hukum, Kemenag menegaskan bahwa semua langkah telah dipertimbangkan berdasarkan data, simulasi teknis, dan kesepakatan diplomatik.
Ke depan, evaluasi mendalam terhadap kapasitas Mina, zonasi, transparansi alokasi kuota, serta pengawasan penegakan hukum menjadi aspek penting agar penyelenggaraan haji tetap adil, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan.(acank)
 













 
							

 












