ppmindonesia.com.Jakarta– Larangan ekspor kelapa utuh yang baru saja diumumkan pemerintah menjadi titik balik penting bagi industri kelapa nasional. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi akan mengekspor kelapa gelondongan ke luar negeri, melainkan mengolahnya di dalam negeri menjadi produk bernilai tinggi seperti minyak kelapa murni (VCO) dan santan.
Kebijakan ini, menurut pemerintah, merupakan bagian dari strategi besar hilirisasi pertanian. “Kita tidak boleh lagi menjual bahan mentah. Nilai tambahnya terlalu kecil. Kalau diolah, hasilnya bisa meningkat seratus kali lipat,” ujar Amran seusai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Namun, di balik semangat industrialisasi itu, petani kelapa di berbagai daerah kini berada di persimpangan jalan. Mereka menyambut optimisme hilirisasi, tetapi juga cemas akan nasib mereka di tengah transformasi besar yang mungkin dikuasai oleh pemodal besar.
Harga dan Pasar: Kekhawatiran dari Desa
Bagi sebagian besar petani di pesisir Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, larangan ekspor kelapa utuh berarti satu hal: perubahan mendadak pada mata rantai pasar yang selama ini mereka andalkan.
“Selama ini kami jual ke pengepul yang kirim ke luar negeri. Kalau ekspor berhenti, tapi pabrik pengolahan belum ada, harga kelapa bisa turun,” kata Samsul Bahri (46), petani kelapa asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Kekhawatiran Samsul beralasan. Sebagian besar sentra kelapa di Indonesia belum memiliki fasilitas pengolahan lokal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 15 provinsi penghasil kelapa utama, hanya sepertiganya yang memiliki industri pengolahan menengah ke atas.
Di sisi lain, petani masih bergantung pada tengkulak untuk akses pasar, modal, dan transportasi. Jika rantai ekspor mendadak terputus tanpa solusi alternatif, posisi tawar petani bisa melemah.
Hilirisasi untuk Siapa?
Kebijakan hilirisasi kelapa menuai dukungan luas di tingkat nasional. Namun, sejumlah kalangan menilai, implementasinya harus berhati-hati agar tidak berujung pada kapitalisasi industri yang justru meminggirkan petani.
“Kalau hilirisasi hanya dikuasai korporasi besar, itu bukan kemandirian rakyat, tapi pengalihan dominasi. Petani harus jadi subjek, bukan objek,” kata Anwar Hariyono, Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional.
PPM menilai bahwa hilirisasi berkeadilan hanya bisa terwujud jika melibatkan petani sebagai pemilik saham, pengelola, dan penerima manfaat utama dari industri kelapa. “Kami sedang mengembangkan model industri kelapa berbasis rakyat di perbatasan Kalimantan Barat–Malaysia, agar petani bisa mengolah kelapanya sendiri menjadi VCO dan serabut bernilai ekspor,” ujar Anwar.
Model itu meniru keberhasilan mendiang Imam Hidayat dengan REPINDO, yang melatih petani memproduksi minyak kelapa murni di tingkat desa dengan teknologi sederhana.
Antara Nilai Tambah dan Keadilan Sosial
Pemerintah menargetkan hilirisasi kelapa akan menghasilkan nilai tambah ekonomi hingga Rp 2.400 triliun per tahun—lonjakan fantastis dibandingkan nilai ekspor kelapa utuh yang hanya Rp 24 triliun.
Aktifis Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) mengingatkan bahwa nilai tambah tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. “Jika tidak ada mekanisme pemerataan, keuntungan besar itu bisa terpusat di industri besar, bukan di desa penghasil,” kata Parito, pemerhati pemberdayaan masyarakat petani kelapa. e
Menurut Parito hilirisasi berkeadilan menuntut keberpihakan nyata pada ekonomi rakyat. Pemerintah perlu memastikan adanya insentif bagi koperasi, UMKM, dan kelompok tani untuk membangun unit pengolahan kecil menengah.
Membangun Ekosistem dari Bawah
Langkah ke arah itu sudah mulai terlihat. Di Kalimantan Barat, PPM Indonesia bersama PPM Madani Malaysia tengah menyiapkan proyek bersama di wilayah perbatasan untuk mengolah kelapa lokal menjadi minyak murni dan produk turunan lainnya.
“Kerja sama ini bukan sekadar ekonomi lintas batas, tapi gerakan membangun ekonomi partisipatif di akar rumput,” ujar Anwar.
Program semacam ini dianggap sebagai contoh bagaimana hilirisasi bisa berjalan tanpa mengorbankan kemandirian rakyat. Petani tidak hanya menjual bahan mentah, tetapi juga memperoleh keuntungan dari proses produksi hingga pemasaran.
Persimpangan Jalan
Kini, petani kelapa berada di antara dua arah besar: menjadi bagian dari transformasi ekonomi nasional atau tersisih oleh arus industrialisasi yang dikuasai modal besar.
“Kalau pemerintah serius ingin menjadikan hilirisasi sebagai jalan menuju kemandirian, maka harus dimulai dari desa. Jangan biarkan petani hanya jadi penonton,” ujar Anwar menegaskan.
Dari butir kelapa, Indonesia dihadapkan pada pilihan: membangun ekonomi mandiri dan berkeadilan, atau sekadar mengganti bentuk ketergantungan lama dengan wajah baru kapitalisasi.
Waktu akan menentukan arah mana yang dipilih bangsa ini.(emha)
 













 
							

 












