Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Pencerahan atau Ego? Tafsir Al-Qur’an dalam Gempuran Zaman

57
×

Pencerahan atau Ego? Tafsir Al-Qur’an dalam Gempuran Zaman

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Fenomena tafsir Al-Qur’an belakangan ini menghadirkan wajah baru yang penuh warna. Di satu sisi, lahir penafsir-penafsir muda yang berusaha menggali pesan Al-Qur’an dengan semangat pencerahan. Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang justru menjadikan tafsir sebagai panggung ego, sekadar mencari sensasi atau identitas baru di tengah derasnya arus digital.

Pertanyaan pun muncul: apakah tafsir-tafsir kontemporer ini sungguh lahir dari niat tulus mencari kebenaran, atau hanya cermin dari kepentingan pribadi?

Al-Qur’an: Kitab yang Terbuka untuk Ditadabburi

Sejak awal, Al-Qur’an menegaskan dirinya sebagai kitab yang mudah dipahami. Allah berfirman dalam QS Al-Qamar ayat 17:

 وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

“Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar [54]: 17).

Ayat ini menunjukkan bahwa pintu memahami Al-Qur’an terbuka bagi siapa pun yang mau merenung. Namun, kemudahan ini bukan berarti kebebasan tanpa tanggung jawab.

Antara Niat Tulus dan Ego Intelektual

Menurut Prof. M. Quraish Shihab, tafsir adalah hasil interaksi manusia dengan teks suci yang tidak pernah final: “Al-Qur’an ibarat samudra. Setiap generasi mengambil mutiara sesuai kemampuan mereka, tetapi tak seorang pun dapat menguras seluruh kedalamannya.”

Namun, di era media sosial, tidak sedikit penafsir yang lebih mementingkan popularitas ketimbang kedalaman. Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir asal Mesir, pernah mengingatkan: “Ketika tafsir dijadikan alat legitimasi diri, maka yang lahir bukan pencerahan, melainkan sekadar ego yang dibungkus retorika.”

Menimbang Hadis dan Tradisi

Sejarah Islam mencatat tafsir tradisional sangat bergantung pada hadis. Padahal, hadis baru dibukukan lebih dari satu abad setelah wafatnya Nabi. Inilah yang memicu perdebatan: apakah hadis harus selalu dijadikan lensa utama dalam memahami Al-Qur’an?

Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda:

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang pada keduanya: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik).

Hadis ini sering dijadikan dasar oleh ulama klasik untuk menempatkan sunnah sejajar dengan Al-Qur’an. Namun, kelompok penafsir baru menekankan bahwa segala hadis tetap harus diuji konsistensinya dengan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah standar kebenaran tertinggi.

Tafsir, Poligami, dan Jilbab: Warisan atau Pesan Moral?

Dua isu populer yang kerap menjadi medan tafsir baru adalah poligami dan jilbab. Dalam QS An-Nisa ayat 3, Al-Qur’an berbicara tentang poligami dalam konteks keadilan terhadap anak yatim:

 فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَٰحِدَةً

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (QS An-Nisa [4]: 3).

Sebagian ulama klasik memaknai ayat ini sebagai legalisasi poligami. Namun, penafsir kontemporer menekankan pesan moralnya: bahwa keadilan adalah syarat mutlak, dan ketika keadilan mustahil dicapai, monogami menjadi pilihan utama.

Begitu pula soal jilbab. QS Al-Ahzab ayat 59 berbunyi:

 يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـٰبِيبِهِنَّ ۚ

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS Al-Ahzab [33]: 59).

Bagi sebagian ulama, ayat ini adalah aturan busana baku. Namun, sebagian penafsir modern menekankan aspek sosialnya: jilbab diperintahkan sebagai simbol kehormatan dan perlindungan di tengah budaya patriarkis, bukan sekadar aturan pakaian.

Pencerahan atau Ego?

Pertanyaannya kini, apakah penafsiran-penafsiran baru ini membawa umat kepada pencerahan, atau justru terjebak pada ego dan sensasi?

Prof. Amin Abdullah dari UIN Yogyakarta memberi catatan penting: “Kebebasan menafsirkan harus dibarengi tanggung jawab intelektual dan spiritual. Jika tidak, tafsir hanya menjadi ajang klaim, bukan jalan menuju hidayah.”

Menjaga Ruh Al-Qur’an di Tengah Zaman

Al-Qur’an telah menegaskan fungsinya sebagai kitab yang membimbing seluruh umat manusia:

 هَٰذَا بَيَانٌ لِّلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِّلْمُتَّقِينَ

“Inilah penjelasan yang ditujukan untuk seluruh manusia, petunjuk, serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 138).

Tafsir, pada akhirnya, adalah upaya manusia memahami cahaya wahyu. Ia bisa menjadi jalan pencerahan bila dijalankan dengan rendah hati, atau berubah menjadi panggung ego bila diselimuti kesombongan.

Di tengah gempuran zaman, pilihan ada di tangan kita: menjadikan tafsir sebagai jalan menuju nur ilahi, atau sekadar alat membesarkan nama diri.(acank)

 

Example 120x600