ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam keseharian umat Islam, ibadah dijalankan dengan pola yang telah dianggap pasti: shalat lima kali sehari, zakat 2,5 persen, sa’i tujuh kali, dan seterusnya. Semua angka itu diwariskan dari generasi ke generasi tanpa banyak dipertanyakan. Namun, dalam kajian kanal –Quran-islam bersama A. Mohamed, muncul pertanyaan mendasar: Apakah angka-angka tersebut benar-benar berasal dari syariat yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an, atau hasil tradisi keagamaan yang berkembang setelahnya?
Ibadah dan Prinsip Kemudahan
Mohamed memulai kajiannya dengan menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak pernah membebani manusia di luar batas kemampuan. Prinsip dasar ini ditegaskan dalam firman Allah pada QS. Al-Baqarah [2]:286:
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكْتَسَبَتۡ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya, dan ia menanggung (akibat) dari keburukan yang diperbuatnya.”
Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa sistem ibadah dalam Islam bersifat lincah dan kontekstual, bukan terikat angka-angka tetap. “Ketika Al-Qur’an tidak menyebut jumlah rakaat, tidak menetapkan angka zakat, atau tidak mengharuskan tujuh kali sa’i, itu adalah tanda bahwa Allah memberi ruang kebebasan dan rasionalitas dalam menjalankan agama,” ujarnya.
Antara Wahyu dan Warisan
Sejarah Islam mencatat, rincian teknis ibadah baru dibakukan melalui hadis dan ijmak ulama setelah masa Rasulullah SAW. Di sinilah sering muncul perdebatan antara otoritas wahyu (Al-Qur’an) dan otoritas tradisi (hadis dan fiqh).
Pemikir asal Pakistan, Fazlur Rahman, menulis bahwa “Syariat bukanlah sekumpulan aturan mati, melainkan prinsip moral yang terus berkembang sesuai kebutuhan manusia.” Sementara Prof. Quraish Shihab menegaskan dalam Tafsir Al-Mishbah: “Rincian ibadah memang dijelaskan oleh sunnah, tetapi semangatnya tidak boleh bertentangan dengan pesan Al-Qur’an tentang kemudahan dan keadilan.”
Mohamed menilai, pergeseran fokus umat dari makna spiritual ke angka formal kadang menutup esensi ibadah itu sendiri. “Kita terjebak dalam hitungan, bukan penghayatan,” katanya dalam kajian tersebut.
Ketika Angka Menjadi Dogma
Dalam pandangan Al-Qur’an, ibadah adalah bentuk ketaatan yang lahir dari kesadaran, bukan dari ketakutan terhadap pelanggaran teknis. Allah berfirman dalam QS. Al-Hajj [22]:78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍۚ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Namun dalam praktiknya, banyak umat justru merasa terbebani oleh ritual yang dianggap “harus tepat” secara angka. Padahal, kata A. Mohamed, semangat Al-Qur’an justru menghendaki kelonggaran dan kedekatan, bukan ketakutan dan kekakuan.
“Shalat lima waktu misalnya, disebutkan secara global dalam Al-Qur’an — shalat di waktu pagi, sore, dan malam — tanpa menyebut angka pasti. Begitu pula zakat, hanya ditekankan pada kewajiban berbagi, bukan persentase matematis,” jelasnya.
Kembali ke Ruh Syariat
Dalam QS. Al-Hajj [22]:37, Allah menegaskan bahwa yang sampai kepada-Nya bukanlah ritual itu sendiri, melainkan ketakwaan di baliknya:
وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ
“Tetapi yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kamu.”
Dengan demikian, kata A. Mohamed, perbedaan angka dalam ibadah bukanlah ancaman terhadap kesatuan umat, melainkan peluang untuk menumbuhkan kesadaran bahwa syariat sejati adalah nilai, bukan sekadar tradisi.
Penutup
Kajian kanal Quran -Islam ini mengajak umat Islam untuk meninjau kembali hubungan antara syariat dan tradisi. Apakah angka-angka yang selama ini dianggap baku benar-benar berasal dari perintah Allah, atau merupakan interpretasi manusia terhadap wahyu?
Sebagaimana pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar:
“Ibadah tanpa penghayatan hanyalah gerak tubuh tanpa jiwa. Sedangkan syariat tanpa pemahaman adalah hukum tanpa hikmah.”
Akhirnya, membaca ulang angka-angka dalam ibadah bukan berarti menolak tradisi, melainkan upaya untuk menegaskan kembali bahwa inti agama adalah ketaatan yang sadar, bukan kepatuhan yang buta.( emha)
* Artikel ini disarikan dari kajian kanal  quran- islam  dan ditujukan untuk memandu umat dalam mamahami islam
			
		 













 
							

 












