Scroll untuk baca artikel
BeritaEdukasi

Guru yang Disalahkan, Murid yang Dimanja: Krisis Kepemimpinan Moral di Sekolah

97
×

Guru yang Disalahkan, Murid yang Dimanja: Krisis Kepemimpinan Moral di Sekolah

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com. Banten — Kasus penonaktifan sementara Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, kembali membuka perdebatan lama tentang wibawa guru, disiplin siswa, dan krisis kepemimpinan moral di dunia pendidikan.

Kepala sekolah bernama Bu Dini dinonaktifkan setelah menegur seorang siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Teguran itu berujung keributan, sebagian murid menolak masuk kelas, dan situasi sekolah menjadi tidak terkendali.

“Langkah penonaktifan ini bersifat sementara, semata untuk menstabilkan kondisi sekolah, bukan hukuman,” ujar Gubernur Banten Andra Soni di Serang, Rabu (15/10/2025). Ia menegaskan bahwa hak-hak Bu Dini tetap dijaga selama proses evaluasi berlangsung.

Menurut Andra, sang kepala sekolah sudah mengakui bahwa emosinya sempat muncul saat menegur siswa. Namun ia menilai hal itu tidak didasari niat buruk.

“Masa iya guru melihat murid merokok dan diam saja? Yang penting niatnya mendidik,” kata Gubernur Andra.

Kawasan Tanpa Rokok dan Aturan yang Dilanggar

Larangan merokok di sekolah sesungguhnya diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan, kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok, memproduksi, menjual, dan/atau mempromosikan rokok.

Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak di sekolah — kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, hingga peserta didik. Pasal 4 menegaskan, sekolah wajib memasang tanda larangan merokok, melarang penjualan rokok di kantin atau koperasi sekolah, dan menolak segala bentuk promosi rokok di lingkungan sekolah.

Sementara Pasal 5 ayat (4) bahkan memberi hak kepada guru dan siswa untuk saling menegur jika ada pelanggaran. Dalam hal kepala sekolah lalai menegakkan aturan, dinas pendidikan berwenang memberi teguran atau sanksi administratif.

Pemerintah juga mempertegas larangan rokok bagi anak di bawah umur. Dalam Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 Pasal 25 huruf b, disebutkan:

 “Dilarang menjual produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun.”

Dengan kata lain, sekolah bukan hanya kawasan bebas rokok, tapi juga simbol keteladanan bagi masyarakat dalam membangun generasi sehat dan berkarakter.

Ketika Niat Baik Guru Berbalik Jadi Masalah

Namun, kasus di SMAN 1 Cimarga menunjukkan betapa rapuhnya posisi guru di tengah sistem pendidikan modern. Apa yang semestinya menjadi tindakan disipliner justru berbalik menjadi bumerang.

Aktivis pendidikan dari Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), Gus Hikam, menyebut fenomena ini sebagai tanda “hilangnya kepercayaan” antara orang tua dan guru.

 “Guru kini tidak lagi dipandang sebagai amanah untuk mendidik anak, melainkan pekerja jasa yang bisa dilaporkan kapan saja. Ini krisis kepemimpinan moral yang serius,” ujarnya.

Menurut Gus Elam , setiap guru memiliki jiwa pendidik dan tidak akan menyakiti anak didiknya dengan sengaja. “Kalau guru tidak boleh marah, tidak boleh menegur, bagaimana mungkin kita bisa mendidik generasi yang berdisiplin?” tambahnya.

Dulu Guru Dihormati, Kini Dicurigai

Pada era 1980–1990-an, guru masih dianggap “orang tua kedua” di sekolah. Murid yang nakal dan ditegur biasanya akan dimarahi lagi di rumah, bukan dibela.

Namun kini, di era generasi Z, teguran guru sering dianggap sebagai bentuk kekerasan atau perundungan (bullying).

“Zaman dulu, guru bisa memukul dengan penggaris dan orang tua tidak marah karena mereka tahu itu demi kebaikan. Sekarang, guru baru meninggikan suara saja sudah dilaporkan,” kata Gus Elam menambahkan.

Perubahan ini, menurutnya, bukan hanya persoalan kebijakan, tapi juga perubahan nilai sosial di masyarakat. “Orang tua sekarang lebih takut pada opini publik ketimbang nilai moral anaknya,” katanya.

Moralitas yang Pudar dan Keteladanan yang Hilang

Pergeseran nilai tersebut tampak jelas dalam perilaku keseharian siswa. Banyak anak muda kini tidak lagi terbiasa mengucapkan “permisi” ketika melewati orang yang lebih tua, berbicara tanpa etika, atau enggan menghormati guru.

Menurut Gus Elam , akar masalahnya terletak pada hilangnya teladan di rumah dan sekolah.

 “Ketika orang tua sibuk bekerja dan anak dibesarkan oleh pembantu atau baby sitter, pendidikan moral kehilangan pondasinya. Guru pun tidak bisa bekerja sendirian,” katanya.

Ia menilai, pendidikan moral bukan hanya soal teori Pancasila atau budi pekerti di kelas, tetapi soal keteladanan nyata dari orang tua dan guru yang saling mendukung.

Krisis Kepemimpinan Moral

Kasus Cimarga hanyalah satu dari banyak contoh benturan antara idealisme pendidikan dan realitas sosial. Guru kini bekerja di tengah situasi yang serba sensitif: menegur salah, diam pun salah.

Fenomena ini, kata Gus Elam, menandakan krisis kepemimpinan moral di sekolah.

“Guru kehilangan otoritas moralnya karena masyarakat kehilangan respek. Pendidikan akhirnya hanya soal nilai akademik, bukan pembentukan karakter,” ujarnya.

Padahal, sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Jika guru terus disalahkan dan murid terus dimanjakan, maka arah pendidikan nasional sedang menuju jurang kehilangan makna. Sekolah tanpa rokok bisa diwujudkan, tapi sekolah tanpa moral — itulah yang paling berbahaya. (acank)

 

Example 120x600