ppmindonesia.com.Banten – Kasus yang terjadi di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, menjadi contoh nyata bagaimana penerapan aturan bisa berujung pada salah paham. Gubernur Banten Andra Soni menjelaskan bahwa keputusan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten menonaktifkan kepala sekolah, Bu Dini, bersifat sementara.
“Situasi saat itu tidak terkendali. Murid-murid menolak masuk kelas. Penonaktifan sementara ini dimaksudkan agar proses belajar kembali normal. Hak-hak kepala sekolah tetap terjaga,” ujar Andra kepada wartawan di Serang, Rabu (15/10/2025).
Menurut Andra, Bu Dini telah mengakui adanya unsur emosi saat menegur siswa yang kedapatan merokok. Namun, tindakan itu tidak dilandasi niat buruk.
“Masa iya guru melihat murid merokok dan tidak menegur? Yang penting ada niat baik untuk mendidik,” ujarnya.
Gubernur menegaskan bahwa keputusan penonaktifan ini bukan hukuman, melainkan langkah stabilisasi agar kondisi sekolah kembali kondusif. Guru dan siswa diharapkan bersama-sama menjaga disiplin serta menaati aturan kawasan tanpa rokok.
Dulu Guru Dihormati, Kini Dipolisikan
Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam dunia pendidikan. Dahulu, pada era 1980–1990-an, ketika siswa melanggar aturan atau berlaku kasar, guru memiliki wibawa untuk menegur bahkan memberikan hukuman mendidik. Orang tua pun mempercayai guru sepenuhnya dalam mendidik anak-anak mereka.
Namun kini, di era 2000-an hingga generasi Z, guru yang menegur atau memarahi murid justru kerap dilaporkan ke polisi dengan tuduhan kekerasan atau perundungan (bullying).
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah wibawa guru sudah hilang di mata masyarakat?
Aktivis pendidikan dari Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), Gus Elam , menilai situasi ini sebagai krisis moral dan hilangnya kepercayaan antara orang tua dan sekolah.
“Guru hari ini tidak lagi dianggap sebagai titipan amanah untuk mendidik anak, tetapi sekadar pengasuh atau pekerja yang harus tunduk pada kemauan orang tua. Ini berbahaya bagi masa depan moral bangsa,” tegasnya.
Menurutnya, setiap guru memiliki jiwa pendidik, bukan niat untuk menyakiti murid. Maka, ketika guru menegur siswa yang melanggar aturan, hal itu seharusnya dipahami sebagai bagian dari tanggung jawab pendidikan, bukan kekerasan.
Krisis Moral dan Hilangnya Keteladanan
Fenomena sosial yang muncul hari ini memperlihatkan generasi muda yang semakin individualistis dan kehilangan rasa hormat kepada yang lebih tua. Sopan santun, yang dahulu menjadi ciri khas masyarakat Timur, kini semakin pudar.
Tidak jarang anak muda berjalan di depan orang yang lebih tua tanpa mengucapkan “permisi”, berbicara dengan nada tinggi, atau abai terhadap tata krama.
Menurut Gus Elam , hal ini terjadi karena pola asuh yang lepas tanggung jawab.
“Banyak orang tua sibuk bekerja, anak diasuh pembantu atau baby sitter, tanpa keteladanan moral yang kuat. Sekolah tidak lagi menjadi mitra utama orang tua, padahal pendidikan adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Menegakkan Kembali Wibawa Guru dan Moral Bangsa
Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi juga pusat pembentukan karakter. Jika guru kehilangan wibawa, maka pendidikan kehilangan ruhnya.
Kawasan tanpa rokok hanyalah salah satu contoh aturan yang harus dijaga bersama — antara guru, murid, dan orang tua — agar sekolah benar-benar menjadi ruang belajar yang sehat secara fisik dan moral.
Seperti ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Maka, menghormati guru, menaati aturan, dan menegakkan disiplin adalah bagian dari proses pendidikan itu sendiri — bukan sesuatu yang layak dipersoalkan apalagi dipidanakan.(emha)
 













 
							

 












