ppmindonesia.com.Jakarta – Di berbagai tempat dan masa, agama yang sejatinya membawa rahmat dan kasih sayang justru sering berubah menjadi sumber konflik dan kebencian. Ironisnya, kekerasan itu kerap dilakukan atas nama Tuhan, seolah-olah Sang Pencipta membenarkan darah tumpah demi membela keyakinan yang dianggap paling benar. Padahal, inti dari setiap ajaran Ilahi adalah kemanusiaan: menjaga kehidupan, menebar kasih, dan menegakkan keadilan.
Agama untuk Kehidupan, Bukan Kematian
Al-Qur’an menegaskan bahwa tujuan utama diutusnya para rasul adalah membawa rahmat bagi semesta. Allah berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya [21]: 107)
Ayat ini menegaskan, bahwa risalah Islam tidak hanya ditujukan bagi kaum Muslim, tetapi bagi seluruh makhluk. Rahmat — bukan permusuhan — adalah wajah sejati agama.
Namun dalam realitas sosial, agama kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan, ideologi politik, atau pembenaran terhadap kebencian. Ketika tafsir agama dipersempit oleh ego kelompok, maka hilanglah substansi kasih sayang itu. Yang tersisa hanyalah simbol dan klaim kebenaran.
Kebenaran yang Tergelincir Menjadi Kesombongan
Sejarah manusia memperlihatkan bahwa perang atas nama agama lebih banyak dipicu oleh kesombongan menafsirkan wahyu, bukan oleh kebenaran itu sendiri. Padahal Allah memperingatkan:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ فَخُورٍۢ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS Luqman [31]: 18)
Kesombongan spiritual — merasa paling benar, paling suci, paling dekat dengan Tuhan — adalah akar dari dehumanisasi atas nama agama. Dari sinilah muncul pengkafiran, penghakiman, bahkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan berbeda bukan untuk bertengkar, tetapi untuk saling mengenal. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْۚ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini adalah deklarasi universal bahwa pluralitas adalah kehendak Tuhan, bukan kesalahan sejarah. Maka, agama yang benar tidak menolak perbedaan, justru mengajarkan bagaimana manusia hidup secara bermartabat di tengah perbedaan itu.
Tuhan Tidak Butuh Dibela dengan Kebencian
Sering kali, manusia merasa perlu “membela” Tuhan dan agamanya dengan cara menyerang orang lain. Padahal, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak butuh pembelaan, apalagi dengan kebencian. Yang sejatinya harus dibela adalah nilai-nilai ketuhanan dalam diri manusia: keadilan, kasih sayang, dan kejujuran.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya (disakiti).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini bukan sekadar ajakan moral, tetapi pedoman etis dalam beragama: bahwa setiap tindakan keagamaan harus menjaga kemanusiaan. Sebab, kehilangan kemanusiaan berarti kehilangan ruh agama itu sendiri.
Menjaga Wajah Lembut Agama
Agama, jika dipahami secara jernih, seharusnya melahirkan manusia yang lembut hatinya, bukan keras. Al-Qur’an mengingatkan Nabi Muhammad ﷺ:
فَبِمَا رَحْمَةٍۢ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّۭا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.” (QS Ali Imran [3]: 159)
Lemah lembut adalah kekuatan spiritual yang melahirkan kepercayaan dan keteduhan. Di tangan mereka yang berjiwa lembut, agama menjadi cahaya. Tetapi di tangan mereka yang berhati keras, agama berubah menjadi bara yang membakar kemanusiaan.
Mengembalikan Agama pada Tujuannya
Ketika agama dijadikan alasan untuk meniadakan kemanusiaan, maka sesungguhnya agama itu telah kehilangan jiwanya. Kebenaran yang sejati tak pernah bertentangan dengan kasih sayang, dan tak mungkin menumbuhkan kebencian.
Karena itu, tugas kita hari ini bukan lagi sekadar menjadi orang beragama, tetapi menjadi manusia yang beragama dengan benar — yang menghadirkan rahmat dalam setiap langkah, bukan luka di atas nama Tuhan.(acank)
 













 
							

 












