Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Qadariyah, atau Ahlus Sunnah? Saat Umat Diam-diam Jadi Mu’tazilah

78
×

Qadariyah, atau Ahlus Sunnah? Saat Umat Diam-diam Jadi Mu’tazilah

Share this article

Penulis; emha| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam sejarah pemikiran Islam, perdebatan tentang takdir (qadha dan qadar) sudah berlangsung sejak generasi awal umat. Di satu sisi ada golongan Jabariyah yang menegaskan bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kuasa atas perbuatannya; segala sesuatu adalah kehendak Allah semata. 

Di sisi lain ada Qadariyah dan kemudian Mu’tazilah yang meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan nasibnya.

Namun, di tengah dua kutub ekstrem itu, muncul jalan tengah yang dikenal sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah —yang menegaskan bahwa manusia memiliki ikhtiar, tetapi ikhtiar itu tetap berada dalam lingkup kehendak Allah.

Menariknya, tanpa disadari, banyak umat Islam hari ini justru berpikir seperti kaum Mu’tazilah, walau secara formal menolak mereka.

Ketika Manusia Menjadi “Tuhan” atas Nasibnya

Salah satu ayat yang sering dijadikan dasar oleh kaum Qadariyah dan Mu’tazilah untuk menegaskan kebebasan manusia adalah:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]:11)

Ayat ini sering dipahami secara dangkal: seolah-olah Allah baru akan “bergerak” jika manusia lebih dulu melakukan sesuatu. Dalam banyak ceramah, ayat ini dijadikan slogan motivasi perubahan —dengan semangat manusiawi, tetapi sering kali kehilangan makna teologis yang mendalam.

Kita berteriak bahwa nasib ditentukan oleh usaha manusia, seolah-olah Allah hanya menjadi penonton di langit. Di sinilah akar masalahnya: saat semangat “berdaya” berubah menjadi ilusi kemandirian dari Tuhan.

Ketika Allah Diperlakukan Seperti Ponakan

Buya Syakur Yasin menyoroti fenomena ini dengan sindiran tajam: “Banyak orang beragama seolah memperlakukan Allah seperti ponakan sendiri. Kalau kita berubah, Allah berubah. Kalau kita berbuat, Allah mengikuti. Siapa yang sebenarnya menjadi Tuhan di sini?”

Sindiran ini bukan tanpa dasar. Dalam realitas kehidupan, manusia tidak pernah dilibatkan oleh Allah dalam hal-hal paling mendasar: di mana ia lahir, siapa orang tuanya, bagaimana ia mati. Semua itu murni kehendak Allah.

إِنَّ ٱللَّهَ يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخْتَارُ ۗ مَا كَانَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ
“Sesungguhnya Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih (apa yang dikehendaki-Nya); sekali-kali tidak ada bagi mereka pilihan.” (QS. Al-Qashash [28]:68)

Ayat ini menegaskan bahwa pilihan tertinggi dalam hidup manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan Sang Pencipta. Maka, pemahaman bahwa Allah “menunggu” manusia berubah agar Dia bertindak adalah bentuk penyederhanaan yang terlalu berani terhadap Dzat Yang Maha Kuasa.

Realitas, Bukan Teori

Perdebatan antara Jabariyah, Qadariyah, dan Ahlus Sunnah sering berhenti pada tataran teori. Namun, sebagaimana dikatakan Buya Syakur, realitaslah yang justru mengajarkan: manusia hidup dalam skenario yang tak pernah ia pilih.

Manusia tidak memilih darahnya mengalir, jantungnya berdenyut, atau paru-parunya bekerja. Bahkan kematian pun tidak ia pilih. Maka, apa yang disebut “pilihan bebas” manusia sejatinya hanyalah bentuk keterlibatan dalam ruang sempit yang Allah kehendaki.

Fazlur Rahman, pernah menulis dalam Islam and Modernity:

“Kehendak manusia bukanlah kemandirian dari Allah, tetapi bagian dari kehendak Allah yang lebih besar. Allah memberikan ruang bagi manusia untuk memilih agar ia layak dimintai pertanggungjawaban.”

Dengan kata lain, kebebasan manusia bukan mutlak, tetapi bersyarat —ia eksis hanya karena Allah mengizinkannya.

Ujian Keimanan: Menyerah dalam Kesadaran, Bukan Pasrah Buta

Ahlus Sunnah tidak menolak ikhtiar, tetapi menempatkannya di tempat yang proporsional. Ikhtiar adalah wujud ketaatan, bukan bentuk perlawanan terhadap takdir. Dalam pandangan Imam Al-Asy’ari, manusia memang berbuat, tetapi perbuatannya “diciptakan” oleh Allah.

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَـٰلَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu), kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir [81]:29)

Ayat ini menjadi fondasi keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Bahwa manusia boleh berusaha, tetapi tidak boleh merasa menentukan. Ia berjalan dalam kehendak Allah, bukan di luar-Nya.

Kembali ke Tauhid: Menyadari Siapa yang Sebenarnya Berkehendak

Ketika kita menempatkan diri seolah pengendali penuh atas nasib, sesungguhnya kita sedang bergeser dari tauhid menuju antitesisnya —karena kita menempatkan kehendak kita setara dengan kehendak Allah.

Kesadaran tauhid sejati justru muncul ketika kita berusaha sebaik-baiknya, lalu menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah, sebagaimana pesan Nabi Ibrahim a.s.:

قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى ٱلظَّـٰلِمِينَ
“Allah berfirman: Janjiku tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:124)

Artinya, hanya dengan kesadaran bahwa segala sesuatu berada di tangan Allah, manusia dapat berjalan di jalan lurus —bukan sebagai budak takdir, tapi juga bukan sebagai tuhan atas nasibnya sendiri.

Diam-diam Jadi Mu’tazilah

Kita boleh mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tetapi ketika kita lebih percaya bahwa perubahan hanya terjadi karena usaha manusia tanpa campur tangan Allah, secara ideologis kita sedang berjalan di jalur Mu’tazilah.

Maka, barangkali saatnya kita berhenti “mengancam” Allah dengan amal dan usaha kita, seolah-olah Dia wajib menuruti kemauan kita. Sebab, sebagaimana firman-Nya:

اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
“Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj [22]:14)

Dan tugas kita hanyalah berbuat sebaik mungkin dalam wilayah ikhtiar, sambil menyadari dengan rendah hati: bahwa segala sesuatu kembali kepada kehendak-Nya semata. (emha)

Catatan Redaksi:
Tulisan ini Artikel ini disarikan dari kajian Buya Syakur Yasin, merupakan ajakan untuk menata kembali cara berpikir keagamaan kita: agar tidak menjadikan semangat “berdaya” sebagai bentuk kesombongan spiritual, dan tidak pula menjadikan “takdir” sebagai alasan untuk berhenti berikhtiar.

Example 120x600